ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH (KASUS PADA
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONE)
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi
ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang mempengaruhinya.
Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas Henry (1995) yang
mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a) dikhotami politik
administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi negara, (c) paradigma
administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi negara
widget by : http://www.rajakelambu.com
sebagai ilmu administrasi, dan (e)
paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara sampai pada
tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara berkembang menjadi
paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997). Dalam paradigma ini
peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang sangatlah besar.
Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi pembangunan dalam
proses pembangunan adalah sebagai ”Agen
of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan kebijaksanaan,
implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya dilakukan oleh
pemerintah.
Pengolahan SPSS, Pengolahan SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS
Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan SPSS Deskriptif, Olah SPSS,
Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS Dengan Spss, Olah SPSS
Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS Jakarta, Olah SPSS
Depok, Analisis SPSS, Analisis SPSS Kuantitatif, Analisis SPSS Penelitian,
Analisis SPSS Katagorik, Analisis SPSS Statistik, Analisis SPSS Spss, Analisis SPSS
Panel, Jasa Pengolahan SPSS, Jasa Pengolahan SPSS Statistik, Jasa Pengolahan SPSS
Skripsi, Jasa Pengolahan SPSS Spss, Analisis SPSS Penelitian, Analisis SPSS
Penelitian Deskriptif, Analisis SPSS Penelitian Eksperimen, Analisa SPSS
Statistik, Olah SPSS Tesis, Pengolaha SPSS Tesis, Regresi, Regresi Linier
Berganda, Regresi Linier, Analisa SPSS SEM, Olah SPSS SEM, Pengolahan SPSS SEM,
Ahli SEM, Pakar SEM, Konsultan SEM, Belajar SEM, Kursus SEM, Pengolahan SPSS, Pengolahan
SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan
SPSS Deskriptif, Olah SPSS, Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS
Dengan Spss, Olah SPSS Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS
Studi yang dilakukan oleh
David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah
tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya
untuk membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur
swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan
sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas,
pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam
menyelenggarakan kegiatan sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah
yang terlibat dalam proses pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan
masyarakat dan LSM merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam
melakukan proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah
yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan
instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang
dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan
secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih
dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun
untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan
sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut
Abdullah (1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja
birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang
memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang
meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan
tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien;
dan (c) susunan aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi
profesional, orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini
berarti bahwa kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan,
mengimplementasikan dan evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan
pelayanan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan,
sumber daya manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan tajam tentang kinerja
birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual
dalam studi administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain
munculnya konsep privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya
ingin meminimalkan campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan
publik (Savas, 1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh
Savas (1983), LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam
menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh
pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa
tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan
adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih
terdapat keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat
mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila ada
pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor
Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya ramah,
suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota warga
masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang
terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui
oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung
dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu
pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala
ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang
berkembang.
Penilaian kinerja birokrat
pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti
jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan
petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau
outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan
manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek
penyelenggaraan pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan
antara kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari
(actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan sumber
daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya (LAN Jawa
Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan
bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model birokrat
sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan
justru sebaliknya aparat yang harus melayani masyarakat. Hal ini terjadi
karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan ketimbang keberadaan
aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan
bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya
sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban
masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur
negara (birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai
penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan
peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi
masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang
melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan
meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan
hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus
lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan
publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi yang dilakukan
LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat terhadap
masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost
economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang
dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah
pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk
memperoleh pelayanan aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat
bagi tumbuhnya daya asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988)
mengidentifikasi ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi),
yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur
maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya
kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya produktivitas pegawai negeri.
Sementara Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang
melekat pada pegawai negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial,
yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi
dan mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk
secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang
bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan
untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan
Sulawesi Selatan (2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan
di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana
pembangunan masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi
yang mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang
jabatan fungsional perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap
jabatan tersebut sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri
masih rendah. Studi lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat
dari tingkat pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja
terbukti rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM
pada kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok
menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam
menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi;
juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan
dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi empiris lain yang
berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses
misalnya penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang
prestasi kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor
Setwilda Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997),
suatu analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja
pegawai pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa penelitian empiris di
atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan
akademik menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah
dilihat dari sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya
berkaitan dengan analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat
secara komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini menunjukkan bahwa
kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian
yang mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan
yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik
dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi,
pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping itu
pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk
mengevaluasi dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama
memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja,
kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini
penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang
diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya
kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat
meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan
keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator
kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone ?
- Faktor apa yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintahan
khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan
pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung
dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan
efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus
pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
D.
Manfaat Penelitian
- Secara akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
- Secara metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan proses.
- Secara praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa datang.
A.
Administrasi Pembangunan dan Reformasi
Administrasi
Seperti yang diakui oleh
Kristiadi (1994) bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah satu
paradigma admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu
administrasi negara sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu
dari kerangka perkembangan administrasi pembangunan seperti tersebut di atas,
Kristiadi memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan adalah
”Administrasi Negara yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan
pembaharuan serta penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga
merupakan pendukung perencanaan dan implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi
oleh negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi dalam
menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi
pembangunan yang berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki
perbedaan ruang lingkup dan karakteristik dengan negara-negara yang telah maju.
Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan bahwa administrasi
pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan
kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi: upaya
penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan
pengurusan sarana-sarana administrasi lainnya. Ini
disebut the development of administration
(pembangunan administrasi), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Administrative Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-programa pembangunan di berbagai bidang
serta pelaksanaannya secara efektif. Ini disebut the administration of development (Administrasi untuk pembangunan).
Administrasi untuk pembangunan (the development of administration) dapat dibagi
atas dua; yaitu; (a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan
kebijaksanaan pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan pemerintahan saja.
Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas
bahwa administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok diterapkan
di negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo
membedakan bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian
terhadap lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru
berkembang. Sedangkan administrasi pembangunan berperan aktif dan
berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan dalam ilmu
administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong perubahan-perubahan
kearah ke keadaan yang lebih baik dan berorientasi mada depan, sedangkan ilmu
administrasi negara lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan secara
efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan berorientasi
pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan merumuskan kebijakan
pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada
tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Administrasi
pembangunan mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan
pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan diberbagai bidang, Ilmu administrasi
negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur administrasinya
sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan penggeraka
perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi pembangunan
berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah sedangkan pada
administrasi negara lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau
pembaharuan administrasi dilakukan karena ketidakmampuan administratif untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan Heady (1995),
menemukan lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang,
yaitu: (1) pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan
(imitative) daripada asli (indigenous), (2) birokrasi di negara berkembang
kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan
pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang
justru kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen,
keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis
yang kurang memadai, (3) birokrat lebih berusaha
mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari
sifat seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang, (4)
adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan dengan
kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang lebih
berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan sesungguhnya,
dan (5) Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas
dari proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah
administrasi publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik
menjadi suatu tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di
Indonesia oleh Bintoro (1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem
politik yang demokratis, partisipatif dan egalitarian, (b) reformasi ABRI (TNI)
sebagai birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang
sentralistik kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan
clean goverment. Pada bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998),
mengatakan bahwa pembangunan administrasi publik atau reformasi birokrasi
pemerintah diarahkan pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan
debirokratisasi ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2)
meningkatkan efisiensi birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak
resmi), (3) mutu, orientasi, pelayanan dan pemberdayaan birokrasi, (4) sistem
karier dan efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan pelayanan
administrasi kepegawaian.
Menurut Riggs (1996),
pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan
efektivitas pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan
sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis
dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk
suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian
menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar
kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar ini, maka kebertanggungjawaban
(accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat esensial
sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan
peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam
hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan
administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja
(performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural
sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan
peran-peran yang makin terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian
pekerjaan yang makin tajam dalam masyarakat modern. Sedangkan mengenai kinerja,
Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit,
tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara
keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai
tujuan.
Sementara Wallis dalam
Ginanjar (1997) mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi; (a)
perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan
diperoleh dengan upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau
tanpa usaha, dan (c) perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak
sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995),
menunjukkan bahwa memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi ketanggapan
(responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber
daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan
administrasi meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi
dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokkan kembali realignment
fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising management)
dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan serta
cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
B.
Arah Perkembangan Administrasi Publik
Perubahan paradigma manajemen
pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat
dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain
oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta
Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
a. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini
manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan
negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk
mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa
rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini,
paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar.
Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan
pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian
dan demokrasi.
c. Perubahan paradigama dari sentralisasi
kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang
hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara
tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
e. Perubahan dari paradigma yang mengikuti
tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen
pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical
structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain,
suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan
global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran
dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan
tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien,
efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam
berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah
yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk
mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan
kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah
cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur
yang dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi
publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem
administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas
dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus
menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan
masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah
kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi
terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki
fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan
pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki
kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan
administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan
dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah
mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik
ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik
administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887
dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua
adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937.
paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik.
Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang
administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat
perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara
proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak
Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration
(1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan
administrasi publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal
ini bahwa administrasi publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Administrasi publik yang
berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut
Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan
pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG)
yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di
negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya
pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas
sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi.
Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi
pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan
birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang
terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik
(good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability
dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir
administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin
terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997)
efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public
goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan
hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu
didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran administrasi
publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi terutama dalam
menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan keadilan
sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi publik
berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus dominan dan
diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996) melakukan
analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang
selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu :
perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat
kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus membangun partisipasi
rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan
(4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu,
Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan
harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi,
kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur
pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering
rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan
dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum
mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan
berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain
melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan
partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai
kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih
memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social
learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif
yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan
semangat untuk melayani (a spirit of
public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat
Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang
antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan
(enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat
diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam
pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus
bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan
seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi
panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula
semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun
yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan dilayani,
mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana bukan
berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir orang.
Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan
pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus
diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan
mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani.
Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than
serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat
dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan
keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah
yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas
dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan,
pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan
orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada
sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu
bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi
dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin
organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain
organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3)
strategy, (4) staff, (5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap
visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan
budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus
menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai
aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun
dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup
kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman
kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan
yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan
pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur
organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan
strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat,
efisien, terbuka, dan akuntabel.
C.
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih
dan Berwibawa
Peran pemerintah sangat besar
dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah
memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja
tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan
pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara
tuntutan dengan kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan
munculnya berbagai gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah.
Barzelay (1992), misalnya memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan
dunia, birokrasi membutuhkan inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai
instrumen implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government yang
diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1) creating clarity of purpose, (2)
creating consequences form performance, (3) putting the custumer in the
driver’s seat, (4) shifting control away from the top and the center, (5)
creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang
peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai
baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya
adalah Guiding. Gevernance
adalah suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi
yang kompleks lainnya dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan
Governance sebagai ’’ praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh
pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan
ekonomi pada khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses
pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang
bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah.
Secara umum governance
mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2)
transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban
bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala
tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari
pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah
terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan
akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998)
akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas
keuangan, dan akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik
berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan
mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada
masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan
penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum
berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara
hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada
prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu
mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan
instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan
kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan
kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.
Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan
kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap
pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan
memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk
melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha
(1997) pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1)
pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2)
kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan
kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem
pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut
Rasyid (1997) bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi
administrasi, yaitu administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta
aparatur yang berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani,
memberdayakan dan membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina
secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien
mekanisme dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan
pengambilan keputusan harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk
menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia
aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi
sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh
program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus
diperhatikan adalah aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang
ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup,
bersih harta dan bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan
untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah
ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari
”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus
disesuaikan dengan platform more steering
the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel,
matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah
organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan
menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang
kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di
masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya,
bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor
kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil,
transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau
golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin
birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan
kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai
tujuan yang diinginkan.
D.
Konsep Kinerja
Kata kerja populer digunakan untuk
menjelaskan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun
organisasi sesuai dengan tugas, kewenangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan
organisasi. Padanan istilah kinerja diidentikkan dengan
istilah perfomance. Menurut The Cribner-Bantanm English Dictionary (1997)
terdapat keterangan sebagai berikut. Berasal dari akar kata ”to perform” yang
mempunyai beberapa padanan, berikut: (1) to door carry out; execute; (2) to
diacharge or fulfill; as a vow; (3) to portray, as a character in a play; (4)
to render by the voice or a musical instrument; (5) to execute or complete an
undertaking; (6) to act a part in a play; (7) to perform music; (8) to do what
is expectred of person or machine.
Arti padanan tersebut adalah (1) melakukan, menjalankan,
melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3)
menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan; (4) menggambarkan dengan
suara atau alat musik; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (6)
melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7) memainkan suatu pertunjukan
musik; dan (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka padanan kata
yang cocok digunakan adalah: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2)
memenuhi atau menjalankan nazar; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung
jawab; (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang atau mesin.
Arti kata performance
merupakan kata benda (noun) dimana salah satu padanan katanya adalah “thing
done” (sesuatu hasil yang dikerjakan). Menurut Prawirosentono (1999)
performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang
atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
senidri, sampai edisi sekarang kata kinerja belum tercantum. Istilah-istilah
yang sering dipakai yang berkaitan dengan kinerja adalah efisien, efektivitas
dan bahkan Frederickson (1984) menambahkan keadilan sosial untuk menilai apakah
administrasi negara telah berhasil mengemban misinya sebagai isntrumen publik
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gaspersz (1997) mengatakan bahwa
kinerja dibangun dari kualitas, dan kualitas adalah terdiri dari segala sesuatu
yang bebas dari kekurangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh organisasi untuk
memuaskan semua unsur yang berkaitan dengan organisasi baik internal maupun eksternal.
KLIK INI UNTUK BACA SELENGKAPNYA
Pengolahan SPSS, Pengolahan SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS
Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan SPSS Deskriptif, Olah SPSS,
Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS Dengan Spss, Olah SPSS
Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS Jakarta, Olah SPSS
Depok, Analisis SPSS, Analisis SPSS Kuantitatif, Analisis SPSS Penelitian,
Analisis SPSS Katagorik, Analisis SPSS Statistik, Analisis SPSS Spss, Analisis SPSS
Panel, Jasa Pengolahan SPSS, Jasa Pengolahan SPSS Statistik, Jasa Pengolahan SPSS
Skripsi, Jasa Pengolahan SPSS Spss, Analisis SPSS Penelitian, Analisis SPSS
Penelitian Deskriptif, Analisis SPSS Penelitian Eksperimen, Analisa SPSS
Statistik, Olah SPSS Tesis, Pengolaha SPSS Tesis, Regresi, Regresi Linier
Berganda, Regresi Linier, Analisa SPSS SEM, Olah SPSS SEM, Pengolahan SPSS SEM,
Ahli SEM, Pakar SEM, Konsultan SEM, Belajar SEM, Kursus SEM, Pengolahan SPSS, Pengolahan
SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan
SPSS Deskriptif, Olah SPSS, Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS
Dengan Spss, Olah SPSS Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS
0 Komentar