BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Dalam dunia modern dewasa ini, kehidupan ekonomi tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran serta penting sektor jasa keuangan
pada umumnya dan perbankan pada khususnya. Lembaga perbankan merupakan unsur
pokok dari sistem pembayaran. Melalui sektor jasa keuangan inilah, dana atau
potensi investasi yang ada pada masyarakat disalurkan ke dalam
kegiatan-kegiatan produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terwujud.
Bank Islam sebagai salah satu
lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai syariah memiliki tiga azas yang melandasi praktek cara kerjanya,
yaitu : azas moral kemanusiaan, azas tanpa bunga, azas profit and loss
sharing. Konsep perbankan Islam dengan ketiga azas tersebut adalah bagian
integral dari keseluruhan value system dalam Islam, sehingga karenanya
memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan rasa tanggung jawab
sosial, keadilan sosial dan stabilitas nasional yang merupakan syarat mutlak
berseminya komitmen perbankan yang mendukung program-program restrukturisasi
bidang ekonomi.
Sehubungan dengan hal tersebut,
pemerintah dan Bank Indonesia sebagai suatu badan yang memiliki wewenang untuk
mengatur perkreditan nasional telah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang
merupakan perubahan dari UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU tersebut
memberikan pengakuan yang lebih tegas mengenai keberadaan dan perlunya
bank-bank berdasarkan prinsip syariah, serta memberikan peluang yang lebih
besar bagi pengembangan bank-bank tersebut. UU tersebut antara lain mengatur
mengenai dimungkinkannya bank-bank konvensional mendirikan cabang-cabang yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dasar hukum yang lebih jelas ini serta
peluang yang diciptakannya akan cenderung mendorong tumbuhnya bank Islam atau
cabang syariat dari bank-bank konvensional pada masa mendatang. Semakin
terbukanya peluang bagi pengembangan bank Islam di Indonesia harus didukung
oleh penerapan metode dan praktek akuntansi yang lebih mantap dalam
kegiatan operasional bank Islam.
Salah satu metode investasi yang
terpenting dalam bank Islam adalah murabahah (penjualan kembali dengan
laba) karena merupakan investasi jangka pendek dengan resiko yang sangat kecil
dan paling menguntungkan (Al-Khadas, 1999, 2) serta berhasil menguasai
98% dari total investasi (Omar, 1987, 224).
Bank-bank Islam melalui pembiayaan
murabahah mulai mempertimbangkan eksistensi dirinya sebagai pihak perantara
antara klien atau nasabah yang membutuhkan barang dan para supplier di luar
bank yang memiliki ataupun menghasilkan produk tersebut. Untuk selanjutnya,
bank Islam akan membeli produk barang secara tunai dan menjualnya kembali
kepada klien atau nasabah yang membutuhkannya dengan dasar beban yang
ditangguhkan.
Pembiayaan murabahah membutuhkan
kerangka akuntansi yang menyeluruh yang dapat menghasilkan pengukuran akuntansi
yang tepat dan sesuai, dapat mengkomunikasikan informasi akuntansi secara tepat
waktu dengan kualitas yang dapat diandalkan serta mengurangi adanya perbedaan
perlakuan akuntansi antara bank Islam yang satu dengan yang lain. Karena hal
tersebut akan berdampak dalam hal keadilan untuk menentukan laba bagi pemegang
saham (stakeholder) dan depositor (deposan).
Dalam hal perlakuan akuntansi untuk pembiayaan
murabahah, bank-bank Islam menerapkan metode akuntansi yang berbeda (Al-Nagi,
1985; Shahata, 1986 ). Salah satu masalah penting yang
dihadapi oleh bank Islam untuk pembiayaan murabahah adalah pembagian laba bagi
depositor (Abdel Majeed, 1994, 3). Dari hasil perbandingan laporan keuangan
beberapa bank Islam, terdapat perbedaan diantara bank-bank Islam tersebut
mengenai pengukuran biaya-biaya lain terkait (subsequent costs)
yang seharusnya dan tidak seharusnya dibebankan dalam biaya awal
operasi pembiayaan murabahah (Al- Khadas, 1999, 7). Perbedaan tersebut
selanjutnya akan menimbulkan adanya kesulitan dalam hal perbandingan realisasi
laba oleh bank Islam yang satu dengan bank Islam yang lain (FAO-IBFI, 1998,
146).
Di samping itu, beberapa bank Islam mengakui
bahwa pendapatan dalam pembiayaan murabahah menggunakan dasar akrual (accrual
basis) yaitu pendapatan diakui pada saat nasabah atau klien telah melunasi
seluruh pinjaman atau melunasi semua cicilannya. Sedangkan pada bank Islam yang
lain mengakui pendapatan dari murabahah dengan menggunakan dasar kas (cash
basis) yaitu pendapatan diakui pada saat bank menerima kas dari nasabah
atau klien ketika mengangsur ataupun mencicil pinjamannya (FAO-IBFI, 1998,
146).
Situasi tersebut diatas memperlihatkan
bahwa bank-bank Islam ternyata belum sepenuhnya memakai satu
standar yang baku sebagai acuan dalam operasionalnya dan selanjutnya akan
mengurangi kegunaan informasi keuangan yang dihasilkan oleh bank Islam bagi
para pemakai laporan keuangan. Oleh karenanya kebutuhan dalam menetapkan dasar dan
metode pengukuran akuntansi, khususnya untuk pembiayaan murabahah menjadi
sangat penting dan harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan syariah yang
telah diatur dalam “Financial Accounting Standards For Islamic Bank
and Financial Institutions” (FAS - IBFI) agar para pemegang
saham dan depositor mendapatkan bagian laba yang sesuai dengan haknya.
Untuk itu penulis mencoba
menganalisa bagaimana praktek akuntansi untuk pembiayaan murabahah khususnya
tentang metode pengukuran biaya, pendapatan dan laba operasi dalam Bank
Muamalat Indonesia sebagai salah satu bank Islam terbesar di Indonesia yang
menjalankan kegiatan operasi berdasarkan prinsip keadilan dan ketentuan
syariah.
Berdasarkan uraian di atas, maka
Skripsi ini diberi judul :
PERLAKUAN AKUNTANSI PEMBIAYAAN
MURABAHAH :
DASAR DAN METODE PENGUKURAN BIAYA
DAN LABA OPERASI
(STUDI KASUS DI BANK MUAMALAT
INDONESIA)
1.2. Perumusan dan
Pembatasan Masalah
1.2.1.
Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana metode pengukuran akuntansi biaya-biaya operasi pembiayaan murabahah
pada BMI ?
2.
Bagaimana dasar dan metode pengukuran pendapatan dan laba operasi pembiayaan
murabahah pada BMI ?
3.
Sejauh mana kesesuaian antara metode pengukuran akuntansi pembiayaan murabahah
pada BMI dengan prinsip keadilan dan ketentuan syariah sebagai dasar
operasional bank Islam yang telah diatur dalam “Financial Accounting
Standards For Islamic Bank and Financial Institutions” (FAS
- IBFI)?
1.2.2.
Pembatasan Masalah
Dalam penulisan kali ini
penulis berusaha memberikan batasan-batasan guna memfokuskan pembahasan.
Beberapa pembatasan tersebut antara lain :
1.
Biaya-biaya operasi dalam pembiayaan murabahah mencakup biaya awal (initial
cost) dan biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal (subsequent
costs).
2.
Dasar pengukuran akuntansi untuk pembiayaan murabahah dalam bank Islam
meliputi:
· Pengukuran akuntansi biaya
awal (initial cost) pembiayaan murabahah.
· Pengukuran akuntansi
biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal (subsequent costs)
pembiayaan murabahah.
3.
Pengukuran laba operasi pembiayaan murabahah dalam Bank Islam, meliputi :
· Dasar pengukuran laba
operasi pembiayaan murabahah.
· Dasar penentuan dan
pembagian rasio laba operasi pembiayaan murabahah.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan menjelaskan dasar dan metode pengukuran biaya-biaya,
pendapatan dan laba operasi dalam pembiayaaan murabahah yang diterapkan oleh BMI
dan menganalisa kesesuaiannya dengan metode pengukuran biaya, pendapatan
dan laba operasi pembiayaan murabahah yang seharusnya dipakai oleh bank-bank
Islam pada umumnya dengan mengacu pada Financial Accounting Standards For
Islamic Bank and Financial Institutions (FAS-IBFI) khususnya tentang
Murabahah Operation.
1.3.2.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan
adalah sebagai berikut :
· Bagi kalangan akademisi
(dosen dan mahasiswa) :
Sebagai dasar tambahan
dalam membangun program akademik, pelatihan dan riset ekonomi Islam, khususnya
dalam bidang akuntansi dan perbankan.
· Bagi kalangan perbankan
dan pengguna jasa perbankan :
Sebagai sumber info dan
masukan kepada lembaga-lembaga terkait tentang bentuk penerapan metode
pengukuran akuntansi dalam kegiatan pembiayaan perbankan Islam khususnya
pembiayaan murabahah yang telah diatur dalam FAS-IBFI.
· Bagi masyarakat :
Memberikan pengetahuan
dan pemahaman kepada masyarakat tentang prinsip dasar dan kegiatan
pembiayaan perbankan Islam, khususnya di Indonesia.
1.4.
Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, pembahasan akan
dibagi menjadi beberapa bab dengan materi masing-masing :
· BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang,
pokok dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
pembahasan.
· BAB II : LANDASAN TEORI
Bagian ini menjelaskan
teori-teori yang mendasari dan berhubungan dengan pembahasan dalam Skripsi ini,
yang akan digunakan sebagai dasar dalam menganalisa masalah. Teori-teori yang akan
digunakan diambil dari literatur-literatur yang ada, baik dari perkuliahan
maupun dari sumber yang lainnya.
· BAB III : METODOLOGI
PENELITIAN
Pada bab ini akan
dijelaskan sifat atau jenis penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data,
jenis dan sumber data serta metode analisa data yang akan dipakai dalam
mengadakan penelitian yang berhubungan dengan judul Skripsi.
· BAB IV : ANALISA DAN
PEMBAHASAN
Menguraikan hasil
observasi pada obyek studi yang dipilih sebagai tempat mendapatkan info serta
data yang dibutuhkan. Disini akan dipaparkan tentang gambaran umum obyek yang
dijadikan sebagai obyek penelitian, yang meliputi sejarah singkat, tujuan dan
misi, struktur organisasi, produk dan jasa yang ditawarkan, dasar dan metode
pengukuran biaya-biaya, pendapatan dan laba operasi pembiayaan murabahah pada
BMI, hasil analisa secara deskriptif atas semua info dan data dengan
mengacu pada landasan teori dan hasil observasi yang diperoleh, serta hasil
evaluasi dari yang diharapkan.
· BAB V : KESIMPULAN DAN
SARAN
Pada bab ini berisi uraian mengenai kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari
hasil seluruh pembahasan dan memberikan saran-saran yang berkenaan dengan
pembahasan masalah dalam studi dan kebijaksanaan selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Prinsip-Prinsip Operasional
Perbankan Islam
Bank Islam adalah bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank Islam
merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dan ada tiga karakteristik
yang mendasari sistem perbankan Islam (IAI, PSAK, 1999). Pertama, uang merupakan
alat tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat diperjualbelikan. Kedua,
nilai uang tidak akan berubah dari waktu ke waktu sehingga tidak dikenal adanya
konsep time value of money. Ketiga, kegiatan yang bersifat spekulatif
tidak diperkenankan karena memiliki unsur ketidakpastian.
Secara garis besar,
operasi bank Islam didasarkan pada dua prinsip. Pertama, sistem bagi hasil,
yaitu sistem yang meliputi cara pembagian hasil usaha antara bank dengan
penyimpan dana dan antara bank dengan nasabah penerima kredit mudharabah.
Hasil usaha bank yang dibagikan kepada penyimpan dana adalah laba usaha bank
yang telah dihitung selama satu periode tertentu. Hasil usaha nasabah penerima
kredit mudharabah yang dibagi dengan bank adalah laba usaha yang
dihasilkan penerima kredit mudharabah dari salah satu usahanya yang
secara utuh dibiayai dari kredit mudharabah dari bank, setelah melewati
suatu periode tertentu yang disepakati bersama dan setelah dikurangi pajak.
Kedua, sistem mark-up, yaitu semacam biaya-biaya bank yang
diperhitungkan secara lump sum dalam bentuk nominal diatas nilai
kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank. Biaya bank tersebut
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah.
Dalam melaksanakan
kegiatan operasionalnya, bank Islam berfungsi sebagai manager investasi,
investor, jasa layanan bank dan layanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana ZIS
(zakat, infaq dan shadaqah) serta penyaluran pinjaman kebajikan (al
qard al hasan). Selain itu bank Islam juga dapat melakukan transaksi yang
tidak dilakukan oleh bank konvensional, misalnya jual-beli dan sewa-menyewa.
2.2. Pembiayaan Murabahah
dalam Bank Islam
2.2.1. Definisi dan Tipe Murabahah
Definisi murabahah
menurut Ibnu Qudamah dalam bukunya “Mughni” (Tazkia Institute, 1999, 21) :
Murabahah adalah menjual
dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.
Pembiayaan Murabahah syah dalam
Islam, seperti disebutkan dalam Al-Quran :
Dan Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (Q.S. Al Baqarah : 275).
Juga dalam hadist dari Sohib r.a,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Tiga hal yang dari
dalamnya terdapat keberkatan : jual-beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah,
bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan tipe murabahah dibedakan
menjadi 2 macam (Tazkia Institute, 1999, 1) :
1.
Murabahah
Murabahah adalah
jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Karakteristiknya adalah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
2.
Murabahah kepada pemesan pembelian
Adalah jual-beli dimana
kedua belah pihak atau lebih bernegosiasi dan berjanji satu sama lainnya untuk
melaksanakan sebuah kesepakatan dimana pemesan meminta pembeli untuk membeli
sebuah aset yang pemesan akan memilikinya. Pemesan berjanji kepada pembeli
untuk membeli aset itu darinya dan memberi keuntungan yang diminta.
Sumber : Tazkia Institute, 1999, 6
Keterangan gambar :
1.
Nasabah memesan barang kepada bank.
2.
Bank membeli dan membayar barang kepada supplier.
3.
Supplier mengirim barang kepada nasabah.
4.
Nasabah membayar kepada bank (tunai maupun cicilan).
2.2.2. Perbedaan antara Murabahah
dengan Al Bai’ Bitsaman Ajil
Bank Islam memiliki
produk-produk pembiayaan dengan prinsip pengambilan keuntungan ( Zainul Arifin,
1999, 6-7) yang terdiri atas :
1.
Al Murabahah
Yaitu kontrak jual-beli
dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera sedangkan harga
(pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) dibayar kemudian hari
secara sekaligus (lum sump defered payment). Dalam prakteknya, bank
bertindak sebagi penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar
secara tangguh dan lump sum.
2.
Al Bai’ Bitsaman Ajil
Yaitu kontrak al
murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut
diserahkan dengan segera sedang harga barang tersebut dibayar dikemudian hari
secara angsuran (installment deffered payment). Dalam prakteknya pada
bank sama dengan murabahah hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara
angsuran.
3.
Bai’ Salam
Yaitu kontrak jual-beli
dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dimuka sebelum barang
diserahkan kepada pembeli (pre-paid purchase of goods). Melalui cara ini
harga barang dibayar dimuka pada waktu kontrak dibuat, tetapi penyerahan barang
dilakukan beberapa waktu kemudian.
Jadi pada dasarnya transaksi
al bai’ bitsaman ajil merupakan jenis kontrak murabahah dimana kewajiban
nasabah dilakukan secara angsuran dan untuk transaksi murabahah kewajiban
nasabah dilakukan secara tangguh dan sekaligus. Sedangkan transaksi murabahah
merupakan kebalikan dari bai’ salam. Pada murabahah, barang diserahkan
terlebih dahulu oleh penjual (bank) kepada pembeli (nasabah), baru
pembayarannya dilakukan dikemudian hari setelah penyerahan barang (baik
pembayaran dilakukan secara sekaligus maupun secara cicilan). Sedangkan pada bai’
salam, pembayaran harga barang oleh pembeli (bank) dilakukan dimuka sebelum
penyerahan barang oleh penjual (pemasok atau nasabah) dan kepada pembeli
(bank) dilakukan kemudian hari setelah pembayaran selesai dilakukan (Syahdeni,
1999, 69).
2.2.3. Tujuan Pembiayaan Murabahah
pada Bank Islam
Tujuan pembiayaan
murabahah pada bank Islam ( Al Khadas, 1999, 13):
1.
Bank Islam mendapatkan keuntungan yang pantas dari pembiayaan murabahah.
2.
Beberapa bank Islam memiliki pengalaman untuk membeli produk tertentu.
3.
Untuk klien, bank Islam mendanai pembelian produk kemudian pembeli (klien) akan
membayar dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.
4.
Pembiayaan murabahah memberikan alternatif jual-beli bebas riba sebagai
perbandingan dalam sistem perbankan konvensional.
2.2.4. Kondisi/ Syarat-Syarat
Pembiayaan Murabahah
Menurut perspektif
Islam, pembiayaan murabahah adalah bentuk penjualan karena itu kondisi
murabahah sama dengan penjualan pada umumnya (Tazkia Institute, 1999, 1) yang meliputi
:
1.
Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak pertama harus syah.
3.
Kontrak harus bebas dari unsur riba.
4.
Bank Islam harus memiliki dan menguasai barang komoditi tersebut sebelum
menjualnya ke klien.
5.
Komoditi yang diperjual-belikan harus halal.
6.
Bank Islam seharusnya mengungkapkan setiap cacat yang terjadi setelah pembelian
atas produk dan membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.
7.
Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
8.
Jika syarat dalam 1, 6 atau 7 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :
a.
Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.
Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
c.
Membatalkan kontrak.
2.2.5. Prosedur Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah
dalam bank Islam harus mengikuti prosedur sebagai berikut (Al Khadas,
1999, 11) :
1.
Klien meminta bank melalui form tertulis untuk membeli produk tertentu, dimana
klien akan membeli melalui murabahah. Form tersebut berisi tentang spesifikasi
produk yang diminta, persyaratan dokumen, total nilai produk, informasi tentang
klien, pembagian laba dan sumber penawaran produk.
2.
Bank Islam mempelajari form surat permohonan klien dari segala aspek yang
meliputi :
a.
Mempelajari posisi klien, seperti jenis bisnis klien, situasi kredit dan
likuiditasnya.
b.
Mempelajari produk dari segi ekonomi, gambaran situasi umum pasar, yaitu jumlah
penawaran dan permintaan produk.
c.
Mempelajari metode penawaran pembelian, seperti biaya operasi pembiayaan
murabahah, jangka waktu perjanjian, laba pembiayaan dan pembayaran angsuran
pinjaman.
d.
Meminta jaminan untuk melindungi hak bank dalam mendapatkan kembali uangnya
sesuai dengan waktu perjanjian.
3.
Setelah memeriksa dan mengesahkan pembiayaan murabahah, bank meminta pembeli
untuk menandatangani kontrak perjanjian. Pada tahap ini, biaya operasi
pembiayaan murabahah dan penentuan pembagian laba didiskusikan dan disepakati. Disamping
itu bank Islam meminta pembeli untuk membayar angsuran pertama harga murabahah.
Bentuk paling umum kontrak pembelian bank Islam disini adalah pernyataan oleh
klien bahwa klien akan menyelesaikan perjanjian pembeliannya ketika
diberitahukan oleh bank bahwa produk telah tersedia.
4.
Setelah bank Islam membeli produk, kemudian bank Islam dan pembeli
menandatangani kontrak penjualan murabahah. Pada kontrak tersebut, biaya
operasi yang sesungguhnya pembiayaan murabahah dan keuntungan yang diperoleh
bank harus diketahui.
5.
Pembeli menerima produk.
2.2.6. Murabahah kepada Pemesan
Pembelian
Ide tentang jual-beli
murabahah kepada pemesan pembelian nampak berasal karena dua alasan (Tazkia
Institute, 1999, 2) :
1.
Mencari pengalaman. Satu pihak yang berkontrak (pemesan pembelian) meminta
pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah aset, dan pihak pertama menjanjikan
kepada pihak kedua akan membeli aset itu darinya dan memberinya suatu
keuntungan, tergantung pada pengalaman dari pembeli.
2.
Mencari pembiayaan. Pemesan beli meminta kepada pembeli untuk membeli
aset dan berjanji untuk membelinya dan memberinya suatu keuntungan, dengan
pengertian bahwa pembeli akan menjual aset kepada pemesan secara kredit penuh
atau sebagiannya. Kredit adalah motif dari kebanyakan, jika tidak semua, yang
berhubungan dengan bank Islam berdasarkan jual-beli murabahah secara pesanan.
Dua tujuan diatas dapat bergabung
menjadi satu. Memang peningkatan pada pembelian kredit sekarang ini karena
berbagai alasan telah menyebabkan meningkatnya permintaan penjualan semacam itu.
Menjual dengan kredit bukanlah sebuah syarat baik murabahah atau murabahah
kepada pemesan pembelian, meskipun sangat dominan banyak transaksi.
2.2.7.
Jenis Murabahah kepada Pemesan Pembelian
Janji pemesan pembelian
dalam murabahah kepada pembeli bisa mengikat bisa juga tidak mengikat. Para
ulama syariah awal yang sepakat pada bolehnya jual-beli ini menggariskan bahwa
pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban ini. The Islamic Fiqih
Academic akhir-akhir ini telah menetapkan hukum yang sama, dan karenanya
pemesan pembelian telah diberikan pilihan, baik untuk membeli aset itu atau
menolaknya ketika ditawarkan kepadanya oleh pembeli. Hal ini karena transaksi
ini tidak membawa seseorang untuk menjual apa yang ia tidak miliki (yang tidak
dibolehkan), atau untuk melakukan tindakan lain yang dilarang syariah seperti
yang dijelaskan secara detail oleh ulama syariah terdahulu. Tetapi, beberapa
ulama syariah modern telah mengijinkan janji dalam jenis jual-beli ini mengikat
pemesan pembelian, yaitu jual-beli murabahah dengan kewajiban pada pemesan
pembelian untuk mengambil penghantaran (AAO-IFI, 1998, 142-143).
· Jual-Beli Murabahah kepada
Pemesan Pembelian dengan Disertai Kewajiban, dan Hukum-Hukumnya.
a.
Jika pembeli menerima permintaan pemesan, ia harus membeli aset itu dan
menyempurnakan sebuah kontrak jual-beli yang syah antara ia dan pedagang aset
itu. Pembelian ini dianggap pelaksanaan dari janji yang mengikat secara hukum
antara pemesan dan pembeli.
b.
Pembeli menawarkan aset itu kepada pemesan yang harus menerimanya demi janji
yang mengikat secara hukum dan karenanya harus membangun sebuah kontrak
jual-beli.
c.
Dalam jenis jual-beli dibolehkan untuk membayar hamish gedyyah (jumlah
yang dibayar oleh pemesan pembelian atas sebuah permintaan dari pembeli untuk
memastikan pemesan serius dalam permintaannya akan aset itu) ketika
menandatangani kesepakatan asli tetapi sebelum pembeli membeli aset itu. Tetapi
jika pemesan menolak untuk membeli aset itu, kerugian aktual pada pembeli harus
dibayar dari hamish gedyyah.
d.
Pembeli dapat kembali kepada hamish gedyyah dalam jumlah kerugian yang
dideritanya jika pemesan menolak untuk membeli aset itu. Jika hamish gedyyah
kurang dari jumlah yang diderita pembeli, pembeli dapat kembali kepada pemesan
untuk sisa kerugiannya.
Beberapa
bank Islam menggunakan urboun (jumlah uang yang dibayar di muka kepada
penjual) sebagai sebuah alternatif dari hamish gedyyah. Jika pembeli
memutuskan untuk menyempurnakan transaksi dan mengambil aset itu maka urboun
akan dianggap sebagai harga yang dibayar dimuka. Jika tidak, maka urboun
akan ditahan oleh penjual.
Karenanya,
dalam hal urboun, pembeli mengambil jumlah keseluruhan dari urboun
itu, apakah lebih atau kurang dari kerusakan. Tetapi dalam hal hamish
gedyyah pembeli akan mengurangi hanya jumlah aktual dari kerugian yang
dideritanya, dan jika jumlah hamish gedyyah melebihi kerugian, ia boleh
mengembalikan kelebihan itu kepada pemesan.
· Murabahah kepada Pemesan
Pembelian tanpa Disertai Kewajiban dan Hukum-Hukumnya.
a.
Salah satu pihak (pemesan pembelian) meminta pihak lainnya (pembeli) untuk
membeli sebuah aset dan berjanji bahwa ketika ia membeli aset itu, pemesan akan
membelinya darinya pada sebuah harga ditambah keuntungan. Permintaan ini
dianggap sebagai keinginan untuk membeli, bukan penawaran.
b.
Jika pembeli menerima permintaan ini, ia lalu membeli aset itu untuk dirinya di
bawah sebuah kontrak jual-beli antara ia dengan pedagang aset itu.
c.
Pembeli, sesudah memiliki secara hukum aset itu harus menawarkannya kembali
kepada pemesan menurut syarat-syarat janji pertama. Hal ini dianggap sebagai
tawaran dari pembeli.
d.
Ketika aset itu ditawarkan kepada pemesan, ia harus memiliki pilihan untuk
menyempurnakan sebuah kontrak jual-beli atau menolak untuk membeli yaitu
pemesan tidak wajib untuk memenuhi janjinya. Jika ia memilih untuk masuk pada
sebuah kontrak, itu akan dianggap sebagai sebuah penerimaan tawaran. Sebuah
kontrak jual-beli dibuat antara pemesan dan pembeli.
e.
Pada saat pemesan menolak untuk membeli aset itu, ia masih tetap dalam
pemilikan pembeli yang memiliki hak untuk menggunakannya dengan cara-cara yang
dibutuhkan.
f.
Jika sebuah syarat dibuat bahwa pemesan harus membayar cicilan pertama,
pembayaran harus dibuat sesudah kontrak ditandatangani dan cicilan itu harus
menjadi bagian dari harga jual.
2.2.8. Hukum-Hukum
Umum
Hukum-hukum umum yang
menyangkut tentang murabahah dan murabahah kepada pemesan pembelian meliputi
(AAO-IFI, 1998, 143-144) :
1.
Jaminan
Kreditur
(pembeli) dapat meminta debitur (pemesan pembelian) untuk
menyediakan sebuah jaminan. Dalam hal ini debitur harus menyerahkan sebuah
jaminan yang bisa diterima. Barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu
jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
2.
Hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian.
Menurut hukum syariah,
penyelesaian hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian tidak boleh
dikaitkan kepada sifat barang yang dijual, apakah hasil penjualan itu positif
atau negatif. Ini karena ketika penjualan sempurna, pemilikan berpindah kepada
pemesan dan pembeli pertama memegang pemilikan piutang. Karenanya jika pemesan
menjual aset itu segera atau pada suatu waktu sebelum hutangnya kepada pembeli
jatuh tempo bahkan jika untuk harga berganda, ia tidak diwajibkan menyelesaikan
hutangnya kecuali aset itu sendiri diletakkan pada colateral untuk
hutang ini, juga kerugian nilai dari aset tidak menjustifikasi kelambatan dalam
penyelesaian hutang yang jatuh tempo itu.
3.
Penundaan oleh debitur yang mampu.
Seorang
yang mampu dilarang menunda penyelesaian hutangnya. Tetapi jika seorang pemesan
menundanya pembeli dapat mengambil tindakan berikut :
a.
Mengambil prosedur kriminal yang diperlukan terhadap pemesan yang membuat cek
palsu atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu, jika pembuatan instrumen
yang tidak syah dilarang oleh hukum.
b.
Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim
kerusakan finasial aktual karena penundaan.
c.
Mengambil prosedur perdata untuk memperbaiki kerusakan karena kerugian
kesempatan akibat penundaan. Ini adalah pandangan beberapa ahli hukum modern.
4.
Bangkrut.
Jika
pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya,
kreditur harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali.
5.
Hukum perwakilan yang diberikan oleh yang dipesan kepada pemesan pembelian, dan
menjual untuk pemesan sendiri. Sesuai dengan syarat sahnya jual-beli murabahah
kepada pemesan pembelian, dan untuk mencegah riba, pembeli tidak boleh
mengijinkan pemesan untuk membeli aset yang diperlukan mewakilinya dan kemudian
menjualnya kepadanya.
6.
Dampak potongan harga pada murabahah.
Beberapa
ulama syariah memandang bahwa pembeli (pemesan) harus mendapat manfaat dari
potongan yang penjual dapatkan sebagai pembeli. Jumlah ini mengurangi
keuntungan murabahah sampai porsi yang sama dengan potongan tersebut bahkan
meskipun penjual (sebagai pembeli) mendapat potongan sesudah jual-beli
murabahah sempurna. Hal ini disebabkan bolehnya mendapat potongan pada harga
pembelian dan memasukkannya sebagai harga penjualan. Tetapi beberapa ulama
syariah berpandangan bahwa pembeli harus mendapat manfaat dari potongan hanya
jika penjual mendapatkannya sebelum murabahah jadi sempurna, atau pada saat
membuat janji. Jika tidak potongan itu harus menjadi milik penjual.
2.2.9 Aplikasi Dalam Perbankan
Murabahah umumnya
diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik
domestik maupun luar negeri seperti melalui Letter of Credit (L/C).
Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit
investasi pada bank konvensional.
Berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh bank-bank Islam di Indonesia yang menggunakannya secara
berkelanjutan (roll over/ evergreen) seperti untuk modal kerja,
sebenarnya murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one
short deal). Karena itu murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal
kerja, yang lebih tepat jika diterapkan dengan skema mudharabah. Sampai
saat ini portfolio mudharabah di bank-bank Islam didapati sedikit sekali
digunakan. Alasan yang paling sering didengar adalah resiko yang sangat besar
pada mudharabah, sehingga masih dicari pola yang tepat untuk
melaksanakannya ( Tazkia Institute, 1999, 5).
2.3. Konsep Dasar Akuntansi
2.3.1. Konsep Dasar Akuntansi
Konvensional
Dalam menyusun suatu
laporan keuangan, informasi yang diberikan harus dapat bermanfaat bagi para
pemakainya. Untuk itu laporan keuangan harus dapat memenuhi karakteristik
kualitatif. International Accounting Standard Committee (IASC)
menetapkan karakterisik kualitatif pokok yang harus dipenuhi adalah : dapat
dipahami, relevan, keandalan (mencakup kejujuran, substansi netralitas,
prudensi dan kelengkapan) dan dapat dibandingkan.
Untuk memenuhi
karakteristik kualitatif laporan keuangan, IAI dalam PSAK No.1 mengakui asumsi
dasar akuntansi sebagai berikut (IAI, PSAK, 1996):
1.
Kelangsungan Usaha
Suatu
entitas ekonomi diasumsikan terus melakukan usahanya secara berkesinambungan
tanpa maksud untuk dibubarkan, kecuali bila ada bukti sebaliknya. Perusahaan
dianggap akan melanjutkan usahanya untuk waktu mendatang yang dapat diduga,
tidak bermaksud atau berkepentingan dengan likuidasi atau penutupan
usaha.
2.
Akrual
Pengukuran
aktiva, kewajiban, pendapatan, beban serta perubahannya diakui pada saat
terjadi, tidak pada saat uang diterima atau dibayarkan, dicatat dan berpengaruh
pada laporan keuangan pada periode kejadian.
Konsep dasar akuntansi
dijelaskan kembali dalam Intermediate Accounting (Smith & Skousen,
1984, 23) menurutnya model akuntansi tradisional dibentuk dari asumsi-asumsi
dasar, yaitu :
1.
Perusahaan dipandang sebagai satu kesatuan ekonomi yang berbeda dari pemilikan
unit usaha lainnya.
2.
Perusahaan dianggap akan terus melanjutkan usaha, sehingga neraca melaporkan
beban-beban berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di masa depan dan tidak
dilaporkan pada nilai realisasi jika perusahaan dilikuidasi.
3.
Kegiatan yang dicatat adalah transaksi dan kejadian yang telah lalu. Jadi
perubahan nilai sumber-sumber dan modal tidak dibukukan sebelum terjadi.
4.
Akuntansi menganut prinsip penilaian beban. Jadi dasar pencatatan transaksi
adalah jumlah uang atau nilai moneter dari akuntansi yang ditukarkan saat transaksi.
5.
Transaksi diakui dengan unit-unit moneter.
6.
Kesatuan usaha dibagi dalam periode akuntansi, sehingga dalam setiap periode,
pengukuran penghasilan berdasarkan akrual. Beban dalam satu periode ditentukan
dalam mengkaitkannya dengan pendapatan tertentu dalam periode waktu tertentu (matching
concept).
7.
Konservatif, yaitu jika dalam pelaporan terdapat dua alternatif, perusahaan
memilih alternatif yang mempunyai manfaat paling sedikit bagi modal pemilik.
2.3.2.
Konsep Dasar Akuntansi Syariah
Tujuan dari laporan
keuangan menurut AAO-IFI (The Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institutions) dalam SFA No. 1 Chapter 6
adalah bahwa laporan harus mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap
syariah, dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non
halal; informasi sumber daya kewajiban, termasuk akibat suatu
transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber entitas, maupun
kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak terentu dalam
menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam
memprediksi aliran kas bank dan seterusnya (para 36-41).
Sedangkan kerangka dasar
akuntansi keuangan versi AAO-FI seperti dituangkan dalam SFA No. 2
meliputi 9 Bab. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi
bank syariah menuntut lebih banyak laporan yang meliputi : statement
of finacial position, statement of income, statement of cashflows, statement of
retained earning, statement of changes in restricted investment, statement of
sources and uses of funds in Zakah and charity fund and statement of sources
uses of funds in qard fund. Empat laporan pertama adalah unsur-unsur
laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan
tiga yang terakhir bersifat khas.
Bila dibandingkan dengan
asumsi dasar yang ada dalam SAK dengan menganut IASC (International
Accounting Standards Committee), maka terdapat sedikit perbedaan. Kalau
kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi
dasar, yakni dasar akrual (accrual basis) dan kelangsungan usaha (going
concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI
terdiri dari empat hal yaitu : the accounting unit concept, the going concern
concept, the periodicity concept and the stability of the purchasing power of
the monetery unit. Komparasi kedua konsep diatas, secara tegas menunjukkan
ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh oleh kedua model akuntansi
yakni konsep going concern.
Aspek pengakuan memegang
peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada
prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue),
beban (expense), laba (gain) dan rugi (loss). Pada
dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk
semua bentuk transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC
yang juga dianut oleh akuntansi konvensional di Indonesia. Namun demikian,
kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syariah, ada sejumlah penyimpangan.
Misalnya dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses,
tetapi dasar kas (cash basis) dipakai dalam pengakuan revenue
dan/ atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini
adalah unsur ketidakpastian dan konservatisme (Adnan, 1999, 7).
Untuk aspek pengukuran
hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena
semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur : reliability,
understandability dan comparability.
2.4. Dasar Pengukuran Akuntansi
Pembiayaan Murabahah pada Bank Islam
Dasar pengukuran akuntansi
pembiayaan murabahah pada bank Islam, dibagi menjadi 3 yaitu : pengukuran
akuntansi biaya awal (initial cost), pengukuran akuntansi biaya-biaya
lain yang terkait dengan biaya awal (subsequent costs) operasi dan dasar
pengukuran laba operasi.
2.4.1.
Pengukuran Akuntansi Biaya Awal (Initial Cost) Operasi Pembiayaan
Murabahah
Initial cost adalah biaya-biaya yang dibayar
oleh bank Islam kepada supplier. Biaya adalah unit uang yang dikeluarkan untuk
mendapatkan produk atau jasa. Dalam Islam, biaya seharusnya dibebankan secara
adil tanpa penambahan maupun pengurangan. Biaya tidak seharusnya mencakup
pemborosan waktu dan sumber alam. Allah menganjurkan kepada kita untuk
mengurangi pemborosan baik dalam waktu maupun sumber-sumber alam (Q.S. Al Isra’
: 27). Selanjutnya, biaya harus menjadi dasar untuk harga yang wajar dan adil,
yang tidak merugikan penjual maupun pembeli (Al Jadawi, 1985, 24). Antara
penjual dan pembeli seharusnya mengungkapkan kebenaran karena menurut ketentuan
syariah Islam setiap muslim harus jujur, adil, tidak menipu dan ekonomis (Q.S.
Al A’Raf : 85).
Biaya merupakan dasar
untuk penentuan harga dan pengukuran laba. Adalah logis untuk mengidentifikasi
dan mengukur biaya yang timbul dari produk yang akan menghasilkan. Pencocokan
yang benar antara beban dan pendapatan masih menjadi masalah paling penting
yang dihadapi oleh akuntan dalam akuntansi konvensional. Harga dalam pembiayaan
murabahah tergantung pada biaya operasi murabahah dan keuntungan yang
dikehendaki, dalam hal ini adalah persentase harga biaya. Biaya murabahah
merupakan dasar dari harga dan keuntungan murabahah, karenanya para ahli
syariah cenderung untuk memperlakukannya dengan cara penjualan di luar kontrak
murabahah. Hal tersebut menghindarkan terjadinya kesalahan atau
memperkirakannya selama penetapan biaya operasi pada pembiayaan murabahah. Tetapi
secara nyata, pembiayaan murabahah menyajikan 90% pendapatan investasi. Dalam
bank-bank Islam (Al Nagi, 1985, 215), dimana 98% dana depositor dalam beberapa
bank Islam ditunjukkan hanya untuk pembiayaan murabahah, karena merupakan
investasi jangka pendek dengan resiko yang cukup kecil.
Biaya awal produk (aset)
murabahah adalah biaya yang dibayar oleh bank Islam kepada supplier. Pada kasus
murabahah kepada pemesan pembelian, produk yang dikehendaki dalam murabahah
harus sama dengan di pasar, sama jenis dan penghitungannya menggunakan ukuran
yang tepat (Shahata, 1990, 95). Para ahli dan ulama syariah setuju jika biaya
historis (historical cost) adalah dasar untuk menentukan biaya awal
produk (aset) murabahah. Mereka menyatakan bahwa pengukuran akuntansi harus
menggunakan pengukuran yang tepat dan akurat tanpa estimasi dan perkiraan. FAO-IBFI
(1998, 132) menjelaskan bahwa biaya historis (historical cost)
seharusnya digunakan sebagai dasar pengukuran dan pencatatan biaya awal saat
akuisisi atau perolehan. Oleh karena itu produk (aset) yang diperoleh bank
Islam dengan tujuan untuk dijual dengan murabahah seharusnya diukur pada saat
perolehan dengan dasar biaya historis.
Ada beberapa faktor yang
harus dicatat berkenaan dengan biaya awal operasi pembiayaan murabahah :
1.
Perubahan harga.
Yaitu perubahan harga
produk (aset) murabahah akibat penurunan atau peningkatan harga produk itu
dalam pasar yang menyangkut waktu transaksi murabahah. Sebagai contoh : bank
membeli barang seharga Rp 100.000, dan sebelum menandatangani kontrak penjualan
murabahah, harga di pasar meningkat menjadi Rp 110.000. Menurut Islam
penambahan harus dihilangkan dan beban atau harga tetap Rp 100.000.
2.
Perubahan atas nilai produk.
Yaitu perubahan harga
produk (aset) murabahah yang disebabkan karena peningkatan atau penurunan nilai
produk itu sendiri. Sebagai contoh : penurunan nilai produk akibat kerusakan
sehingga mengakibatkan penurunan harga ataupun peningkatan nilai produk akibat
jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran sehingga terjadi
peningkatan harga.
3.
Perubahan atas nilai tukar.
Yaitu perubahan harga
produk murabahah yang disebabkan perubahan nilai tukar dalam transaksi
murabahah. Sebagai contoh : bank membeli dalam rupiah misalnya Rp 105.000
tetapi pembayaran dilakukan dengan dollar pada nilai tukar 3 untuk setiap
dollarnya. Jadi, jumlah aktual yang dibayar menjadi Rp 35.000. Pada saat
penjualan kembali, nilai tukar tumbuh menjadi 3,5 setiap dollar, membuat nilai
menjadi Rp 30.000. Para ahli syariah sepakat jumlah yang harus dibayar adalah
Rp 35.000.
4.
Diskon (Muqashah)
Dalam praktek, bank
Islam tidak mempertimbangkan saat menjual kembali. Pertimbangannya hanya diskon
komersial, padahal keduanya memerlukan pertimbangan. Para ahli syariah
berpendapat bahwa penjual (bank) memiliki pemilihan untuk mengurangi harga
penjualan kembali. Mereka juga menyatakan bahwa waktu diskon merupakan faktor
penentu, maksudnya jika diskon dibuat sebelum mencapai masa kontrak maka harus
ada pengurangan harga saat penjualan. Jika sebaliknya, maka tidak ada
pengurangan tetapi dikenakan pelonggaran. Dengan demikian setiap perubahan
untuk biaya awal yang berhubungan dengan nilai fisik produk harus
dipertimbangkan. Lebih lanjut, diskon yang berhubungan dengan produk (aset)
murabahah dan diakui sebelum mencakup kontrak murabahah harus dikurangi dari biaya
murabahah.
2.4.2. Pengukuran
Akuntansi Biaya-Biaya yang Terkait dengan Biaya Awal Operasi (Subsequent
Costs) Pembiayaan Murabahah.
Subsequent cost adalah biaya-biaya yang dibayar
oleh bank Islam setelah bank Islam membayar biaya-biaya awal (intial costs).
Studi Al-Khadas (1999, 18) menjelaskan tentang opini para ahli syariah tentang
biaya yang terkait dengan biaya awal operasi dan harus dibebankan dalam
pembiayaan murabahah, meliputi:
1.
Biaya langsung, yaitu biaya yang dibayar atau akan dibayar oleh bank Islam
sehubungan dengan perolehan produk (aset) murabahah.
2.
Biaya-biaya tidak langsung, yaitu biaya-biaya yang akan meningkatkan nilai
produk (aset) murabahah tetapi tidak berhubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh murabih (bank) sehingga murabih harus membayar
kepada pihak lain sehubungan dengan pekerjaan tersebut.
Sedangkan biaya-biaya lain terkait
yang tidak seharusnya dibebankan ke dalam biaya awal operasi dalam
pembiayaan murabahah :
1.
Biaya-biaya langsung yang berhubungan dengan pekerjan yang dilakukan oleh murabih.
2.
Biaya-biaya tidak langsung yang berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh murabih.
3.
Macam-macam biaya tidak langsung yang meningkatkan nilai produk dan
berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian lain tetapi hal ini
merupakan tanggung jawab murabih untuk melakukannya.
4.
Macam-macam biaya tidak langsung yang tidak meningkatkan nilai produk.
Shahata (1987, 125)
menyebutkan bahwa biaya awal dan biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya
awal tersebut dalam perspektif akuntansi Islam harus diberlakukan menurut
konsep biaya historis seperti dalam akuntansi konvensional.
Ada beberapa pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh murabih, seperti
pekerjaan manajemen murabahah, dan menurut perspektif akuntansi Islam,
biaya-biaya tersebut merupakan biaya-biaya langsung yang tidak dipertimbangkan
sebagai biaya operasi pembiayaan murabahah. Hal ini karena berhubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh murabih seperti penjelasan sebelumnya.
Studi lain (Al-Galaf,
1996, 29-30) menjelaskan bahwa biaya-biaya lain yang terkait yang dapat
dibebankan pada biaya awal murabahah, meliputi :
1.
Biaya langsung industri.
2.
Biaya langsung penjualan.
3.
Biaya langsung manajerial.
Studi ini mengabaikan biaya-biaya
tidak langsung tersebut belum tentu benar karena seperti sebelumnya disebutkan
beberapa biaya tidak langsung ada yang dapat dan tidak dapat dibebankan
pada biaya awal operasi pembiayaan murabahah. Studi lain (Shahata, 1990,
132-135) menjelaskan tentang biaya-biaya lain yang terkait apa saja yang
seharusnya dan tidak seharusnya dibebankan ke biaya awal operasi pembiayaan
murabahah.
1.
Biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal operasi pembiyaaan murabahah
dan seharusnya dibebankan adalah :
- Biaya-biaya langsung pada kondisi dimana biaya-biaya tersebut dibayar atau akan dibayar dan berlawanan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian lain kecuali murabih sendiri.
- Macam-macam biaya tidak langsung pada kondisi biaya-biaya meningkatkan nilai produk dan telah dibayarkan.
2.
Biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal operasi pembiayaan murabahah
dan tidak seharusnya dibebankan adalah :
- Biaya-biaya yang berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh murabih sendiri, seperti : biaya manajemen umum atau biaya manajemen murabih.
- Biaya-biaya untuk pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh murabih sendiri.
- Biaya-biaya untuk pekerjaan yang dilakukan oleh pihak lain dan tidak meningkatkan nilai produk.
- Biaya-biaya umum selama alokasinya tergantung pada estimasi dan perkiraan.
FAS-IBFI (Financial
Accounting Standard for Islamic Bank andFinancial Instituion) menjelaskan bahwa pengukuran
pembiayaan murabahah seperti akuisisi produk (aset) murabahah oleh bank Islam
harus mengikuti ketentuan :
1.
Dalam kasus murabahah kepada pemesan pembelian yang diwajibkan untuk memenuhi
janjinya. Barang-barang yang tersedia untuk penjualan setelah akuisisi akan
diukur pada biaya historisnya. Dalam kasus ini dimana penurunan nilai
barang di bawah biaya akibat kerusakan atau dari keadaan yang tidak
menguntungkan, seperti penurunan yang dinyatakan dalam nilai akhir barang pada
akhir periode laporan keuangan.
2.
Pada kasus murabahah atau murabahah kepada pemesan pembelian yang tidak
memenuhi kewajibannya. Ketika bank Islam menemukan adanya indikasi kemungkinan
tidak tertutupnya biaya barang-barang yang tesedia.
FAS-IBFI mengabaikan analisa tipe-tipe
biaya-biaya lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung yang
seharusnya dibebankan kepada biaya awal operasi pembiayaan murabahah. Dan fokus
mereka hanyalah pada perlakuan biaya awal pembiayaan murabahah dan dalam
kasus jika pemesan pembelian wajib memenuhi janjinya atau tidak.
Jelas bahwa
praktek-praktek bank tersebut sesuai dengan pandangan ahli khususnya madhab
Hanafi, yang merujuk pada persetujuan (al-urf) (Omar, 1987, 155). Hasil
dari pembahasan sebelumnya bahwa isu yang paling penting adalah untuk membuat
suatu pengukuran yang unik dan formal yang harus diterapkan oleh semua bank
Islam. Menurut pendapat-pendapat sebelumnya, biaya-biaya lain yang terkait yang
dapat dibebankan ke dalam biaya awal harus berada dalam batasan-batasan berikut
:
1.
Biaya langsung apapun yang menghasilkan peningkatan nilai produk (aset)
murabahah dan dibayar oleh bank Islam seperti biaya transportasi, biaya
pengiriman, komisi pembelian, biaya cukai, biaya manajerial langsung, dll.
Semua ahli setuju dengan hal itu.
2.
Biaya tidak langsung dapat dibebankan ke dalam biaya awal operasi murabahah
dalam dua kondisi berikut: (1) harus dibayar, (2) harus meningkatkan nilai
produk. Semua ahli setuju dengan hal ini, kecuali madhab Al-Maliki yang
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya awal dengan biaya
tidak langsung apapun yang berkaitan dengan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh
murabih tetapi dilakukan oleh pihak lain, meskipun dibayar untuk itu,
karena itu merupakan kewajiban dari murabih untuk melakukan pekerjaan
tersebut.
3.
Biaya apapun yang berkaitan dengan kerja atau jasa amal tidak boleh dibebankan
kepada biaya awal barang murabahah. Semua ahli setuju dengan itu.
4.
Semua biaya tidak langsung, yang tidak meningkatkan nilai dari produk tidak
boleh dibebankan pada biaya awal. Semua ahli setuju dengan itu.
5.
Tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya operasi murabahah dengan
biaya operasi apapun yang berkaitan dengan bank Islam seperti gaji, depresiasi,
upah, alat tulis, dll. Semua biaya ini harus dipotong dari bagian bank Islam
dari laba murabahah.
6.
Tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya operasi murabahah kepada kerugian
apapun yang berkaitan dengan aktivitas bank Islam atau kerugian apapun yang
berkaitan dengan barang murabahah seperti penalti, kompensasi yuridis, karena
semua biaya tersebut berkaitan dengan tanggung jawab bank Islam.
2.4.3. Pengukuran Laba Operasi Pembiayaan Murabahah dalam Bank Islam
Sebelum membahas pengukuran laba dari pembiayaan murabahah, definisi laba dari
sudut pandang akuntansi dan Islam akan diperkenalkan. Kemudian pembahasan ini akan
mencakup basis atau dasar dari pengukuran laba untuk pembiayaan murabahah,
karena banyak pertanyaan yang perlu dijawab pada titik ini.
2.4.3.1. Perspektif Konvensional dan Islam mengenai Definisi
Laba
Laba dianggap sebagai salah satu hal yang penting bagi bisnis dan merupakan
alat yang penting untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan bisnis. Laba
dalam akuntansi konvensional adalah selisih antara pendapatan dengan beban. Pendapatan
adalah peningkatan dalam aset yang dihasilkan dari penjualan barang atau jasa
kepada pihak ketiga (Harvey dan Keer, 1984, 52). Definisi yang lebih spesifik
adalah pendapatan merupakan arus masuk atau peningkatan lain, atau penyimpanan
dalam arus keluar, dari keuntungan ekonomi di masa depan dalam bentuk
peningkatan aset atau pengurangan dalam kewajiban dari entitas, selain yang
berkaitan dengan kontribusi oleh pemilik, yang menghasilkan peningkatan dalam
ekuitas selama periode pelaporan (Chartered Accountants and Australian
Society of CPAs, 1998, 112). Beban merupakan konsumsi atau kerugian dari
keuntungan ekonomi masa depan dalam bentuk pengurangan aset atau peningkatan
kewajiban dari entitas, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada pemilik,
yang menghasilkan penurunan dalam ekuitas selama periode pelaporan (Chartered
Accountants and Australian Society of CPAs, 1998, 113).
Dari perspektif Islam mengenai akuntansi, konsep laba tidak berbeda dari konsep
laba sekuler. Kata laba dalam Qur’an disebut sekali dalam Surat Al-Baqarah :
16. Konsep laba dalam Islam terdiri dari laba selama kehidupan dan setelah
kehidupan. Selama hidup para ahli mendefiniskan laba sebagai pertumbuhan dalam
modal (Al-Asfahani, tanpa tanggal, 388 dan Mohammad, 1988, 7). Dalam zakat,
konsep laba berarti pertumbuhan dan peningkatan nilai (Naser,tanpa tanggal,
305). Dan dalam mu’amalat (hukum sipil yang berkaitan dengan lingkup
ekonomi dan sosial dari aktivitas manusia) laba adalah selisih dari pendapatan
dan beban (Naser, tanpa tanggal, 305 dan Al-Masri, 1994, 3). Laba ini
datang dari campuran dari buruh dan modal, yang datang dari aktivitas pembelian
dan penjualan.
Dalam akuntansi
konvensional konsep laba sulit untuk didefinisikan karena pendapatan pada
umumnya diasosikan dengan prosedur-prosedur akuntansi tertentu, tipe-tipe
tertentu mengenai perubahan-perubahan nilai dan aturan yang implisit untuk
menentukan kapankah pendapatan dilaporkan (Hendriksen, 1974, 159). Dalam
perspektif Islam mengenai akuntansi, para ahli membedakan antara gala (hasil)
dan laba. Gala adalah peningkatan dalam orud al-tijarah atau
aktiva lancar non-kas (Al-Dawski, tanpa tanggal, 465). Dan ini bukanlah laba
karena tidak datang dari usaha pekerja. Sebagai contoh, al-gala dalam
operasi mudharabah menjadi bagian rab-ul-mal (pemilik investasi).
Jadi tidak didistribusikan sebagai laba antara mudharib (pekerja) dengan
rab-ul-mal. Juga ada perbedaan antara al-fa’adah (bunga) dengan
laba. Al-fa’adah adalah peningkatan dalam orud al-quniah (aktiva
tetap). Dan diperoleh dari penjualan orud al-quniah. Ini sama dengan
pendapatan kapitalis dalam akuntansi konvensional (Al-Ibji, 1996, 21). Jadi
dalam Islam ada laba, gala, dan fa’adah, dan perlu untuk
membedakan secara akurat di antara mereka khususnya ketika kita melihat
distribusi laba antara pemegang saham dengan depositor dalam bank Islam.
Dalam Islam, laba
memiliki batasan-batasan, laba tidak boleh diperoleh dari riba, pemalsuan,
monopoli, dan penipuan. Laba diperoleh dari kombinasi dua atau semua modal,
buruh, dan risiko (jaminan). Laba dengan modal berarti bahwa rab-ul-mal
bisa memperoleh laba dari investasi modalnya dengan risiko sebagian dengan mudharib.
Dan titik utama bahwa rab-ul-mal tidak dapat memutuskan bagian labanya
sebagai rasio modal terpisah dari hasil bisnis jika suatu laba atau rugi telah
terjadi. Laba dengan buruh berarti bahwa mudharib memperoleh laba dengan
rab-ul-mal di luar kerjanya. Laba dengan resiko berarti bahwa harus
meningkatkan laba jika risiko meningkat seperti transfer produk untuk dijual ke
negara yang jauh.
2.4.3.2. Dasar Pengukuran Laba Operasi Pembiayaan Murabahah
Dalam operasi pembiayaan murabahah sang murabih dan pemesan
pembelian harus setuju dengan laba pada awal pembiayaan murabahah. Tetapi
menyadari bahwa laba berbeda dari satu murabih ke lainnya khususnya jika
pembiayaan murabahah berbentuk kredit, yang akan dibayar di masa depan atau
akan dibayar secara angsuran selama periode keuangan mendatang. Dalam
kasus-kasus tersebut ada empat alternatif :
1.
Mengakui laba pada saat penjualan sehingga efeknya dicerminkan dalam periode
keuangan saat itu.
2.
Mengakui laba pada saat menerima kas sehingga efeknya dicerminkan dalam periode
keuangan di masa depan.
3.
Mengalokasikan laba pada periode finansial pada saat transaksi.
4.
Mengakui laba pada saat pemulihan biaya total.
Menurut studi fikih ada
pandangan-pandangan yang berbeda dari para ahli mengenai waktu pengakuan laba. Alternatif
pertama (1) direkomendasikan, karena pembiayaan murabahah berakhir
ketika barang dikirimkan. Karena ada pemisahan antara operasi pembiayaan
murabahah dengan operasi penagihan piutang murabahah yang
dianggap sebagai tugas manajemen. FAO-IBFI menyatakan bahwa laba dari
penjualan kredit yang ditetapkan dalam satu pembayaran selama periode finansial
di masa depan akan dialokasikan selama periode finansial dari transaksi
penjualan. Meskipun badan dari FAO-IBFI memberikan preferensi terhadap
alternatif untuk mengalokasikan laba selama periode finansial masa depan dari
transaksi penjualan, badan tersebut juga mempertimbangkan pengakuan laba pada
saat menerima angsuran sebagai suatu metode yang bisa diterima. Ini adalah pada
kasus penjualan kredit, yang dibayar secara angsuran selama periode finansial
masa depan, dengan anggapan penggunaan metode ini oleh bank Islam didukung
dan diperkuat oleh Badan Pengawas Syariah dari bank Islam.
Dalam pandangan ahli,
bank Islam dapat memakai salah satu dari metode-metode yang bisa diterima jika
didukung oleh Badan Pengawas Syariah dari bank Islam. Tetapi metode ini
juga harus diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan bank Islam, karena
mempengaruhi nilai laba dari tahun keuangan bank Islam.
Laba operasi
pembiayaan murabahah dalam bank Islam dikalkulasikan sebagai rasio dari
biaya operasi pembiayaan murabahah, karena seperti yang disebutkan
sebelumnya laba operasi pembiayaan murabahah harus diketahui oleh pembeli atau
pemesan pembelian. Pengukuran laba memiliki dua sisi : dasar dari pengukuran
laba dan rasio laba.
Pengukuran laba operasi
pembiayaan murabahah harus berdasar pada biaya-biaya operasi murabahah, yaitu
jenis biaya awal atau biaya akhir. Ada dua pandangan ahli mengenai dasar
pengukuran laba tersebut. Madhab Al-Maliki menyatakan bahwa biaya awal operasi
pembiayaan murabahah adalah dasar dari pengukuran laba (Al-Daswki, tanpa
tanggal, 160-161). Tetapi ahli lain berargumen bahwa biaya akhir operasi (biaya
awal ditambah biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal) pembiayaan
murabahah adalah dasar dari pengukuran laba (Al-Galaf, 1996, 35-36). Contoh berikut
menggambarkan kedua poin yang berbeda. Misalnya biaya awal operasi pembiayaan
murabahah adalah Rp 20.000, rasio laba untuk pembiayaan murabahah
adalah 8% dan murabih (bank Islam) telah membayar
pengeluaran-pengeluaran berikut:
· biaya transportasi
Rp 750
· biaya ganti rugi
transportasi Rp 150
· biaya pabean Rp 250
· biaya langsung lain yang
dibayar oleh bank Islam Rp 250
Dalam kasus ini menurut madhab Al
Maliki:
· labanya adalah Rp 1600
(20000x8%)
· harganya adalah Rp 23000
([20000+750+150+250+250]+1600)
Tetapi menurut madhab lainnya:
· labanya adalah Rp1712
([20000+750+150+250+250]x8%)
· harganya adalah Rp 23112
([20000+750+150+250+250]+1712)
Sebagai hasilnya bank
Islam harus menerapkan pendapat dari ahli-ahli lain, karena merupakan pendapat
yang mayoritas. Dan dalam kasus bahwa bank Islam yang mengikuti madhab
Al-Maliki, bank Islam ini harus mengungkap pilihannya dalam laporan keuangan
tahunan karena dia telah memilih pendapat yang lebih inferior.
2.4.3.3. Dasar Penentuan Rasio Laba
Operasi Pembiayaan Murabahah
Menurut syariah Islamiah tidak ada batasan tertentu untuk rasio laba. Rasio
laba harus ditentukan menurut kenyataan pasar dan pengendalian internal yang
menjadi bagian dari penjual itu sendiri. Allah berfirman (Qur’an, An-Nissa,
29), Islam melarang pengambilan laba yang terlalu besar. Madhab Al-Maliki
mengatakan bahwa ada tindakan mengambil laba terlalu besar jika rasionya sama
atau melebihi 1/3 (Al A’lami, tanpa tanggal, 393). Dan madhab Hanafi menyatakan
bahwa pengambilan laba yang berlebihan akan terjadi jika rasio tersebut
melebihi perhitungan yang bisa diterima yang dibentuk oleh penghitung lainnya
(Ibnu Abdeen, 1966, 143).
Para ahli dan ulama
syariah lebih suka bahwa rasio tersebut bisa diubah. Dalam kasus kredit
penjualan sebagian besar ahli setuju bahwa rasio penjualan kredit bisa lebih
tinggi dari rasio penjualan kas (Al Kardawi, 1987, 71-73; Al Sharbini, tanpa tanggal,
79, dan Abu Al Basal, 1994, 11). Sedikit ahli yang tidak setuju dengan hal ini,
dan mereka melihat kenaikan ini sebagai riba (Al Ustad, 1975, 77). Saat ini,
sebagian besar bank Islam menentukan rasio laba menurut kenyataan pasar dan
tetap untuk sebagian besar pembiayaan. Beberapa mendebat bahwa rasio laba
tersebut sama dengan rasio laba untuk institusi konvensional, sehingga fakta
ini nampaknya merupakan pertanyaan yang berat (Abu Al-Basal, 1994, 11). Oleh
karena itu, bank Islam harus memilih rasio laba yang tepat untuk diterapkan,
dan rasio tersebut harus bisa diubah menurut kondisi pembiayaan murabahah.
Lebih lagi rasio laba dalam bank Islam harus berbeda dari rasio yang diterapkan
oleh institusi konvensional untuk menghindari pertanyaan yang berat tersebut. KLIK INI UNTUK MEMBACA SELENGKAPNYA
Pengolahan SPSS, Pengolahan SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS
Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan SPSS Deskriptif, Olah SPSS,
Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS Dengan Spss, Olah SPSS
Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS Jakarta, Olah SPSS
Depok, Analisis SPSS, Analisis SPSS Kuantitatif, Analisis SPSS Penelitian,
Analisis SPSS Katagorik, Analisis SPSS Statistik, Analisis SPSS Spss, Analisis SPSS
Panel, Jasa Pengolahan SPSS, Jasa Pengolahan SPSS Statistik, Jasa Pengolahan SPSS
Skripsi, Jasa Pengolahan SPSS Spss, Analisis SPSS Penelitian, Analisis SPSS
Penelitian Deskriptif, Analisis SPSS Penelitian Eksperimen, Analisa SPSS
Statistik, Olah SPSS Tesis, Pengolaha SPSS Tesis, Regresi, Regresi Linier
Berganda, Regresi Linier, Analisa SPSS SEM, Olah SPSS SEM, Pengolahan SPSS SEM,
Ahli SEM, Pakar SEM, Konsultan SEM, Belajar SEM, Kursus SEM, Pengolahan SPSS, Pengolahan
SPSS Penelitian, Pengolahan SPSS Statistik, Pengolahan SPSS Dengan Spss, Pengolahan
SPSS Deskriptif, Olah SPSS, Olah SPSS Statistik, Olah SPSS Kuesioner, Olah SPSS
Dengan Spss, Olah SPSS Penelitian, Olah SPSS Skripsi, Olah SPSS Sem, Olah SPSS
0 Komentar