PENGUJIAN KAUSALITAS GRANGER ANTARA NILAI TUKAR, SUKU BUNGA DEPOSITO DAN HARGA SAHAM DI LIMA NEGARA ASEAN SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS MONETER
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis
keuangan di Asia sejak pertengahan tahun 1997
diyakini disebabkan oleh beberapa faktor. Pemicu awal krisis ini ditandai oleh
penurunan nilai mata uang regional terhadap Dollar AS
sejak tahun 1995. Hal ini ditambah dengan adanya guncangan ekternal seperti penurunan
nilai ekspor sejak tahun 1996 di wilayah Asia yang membawa kecemasan terhadap
pembiayaan neraca transaksi berjalan yang defisit yang mengarah pada akumulasi
pinjaman jangka pendek dan penurunan nilai mata uang. Penambahan pinjaman
jangka pendek oleh sektor swasta mulanya memang tidak mengkhawatirkan,
mengingat nilai valas yang stabil dan kemampuan ekspor yang baik, akan mampu
membayar pinjaman tersebut. Namun saat kegiatan perekonomian menurun dan krisis
mata uang mulai tampak, terjadi penekanan kemampuan pembayaran pinjaman oleh
sektor swasta domestik.
Sampai
pada pertengahan dekade 1990, modal dan hutang internasional masuk dengan deras
ke dalam negara-negara di Asia. Namun pengalokasian yang lebih banyak pada sektor non-perdagangan dan
beresiko tinggi, seperti properti dan pasar saham, membuat tingkat pengembalian
oleh penghutang domestik lebih sulit untuk dilakukan saat terjadi penurunan
kegiatan ekonomi dan melonjaknya suku bunga domestik.
Tertekannya
tingkat kemampuan pengembalian oleh penghutang domestik terlihat dari
menurunnya peringkat kredit oleh para pemeringkat kredit internasional. Tingkat
krisis di kawasan Asean yang semakin memanas meningkatkan resiko dan merusak
sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Maka aliran modal yang masuk
berubah menjadi penarikan modal besar-besaran (masive capital outflow) oleh para investor.
Serangan
spekulatif terhadap sejumlah mata uang Asia,
kerapuhan mekanisme pasar serta kerapuhan sistem perbankan merupakan pemicu
dari krisis, namun mendalamnya efek penularan (contagion effect) sangat menentukan aliran arus balik modal yang
menjadikan kerawanan pada pasar finansial di Asia. Tekanan yang berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand segera menyebar ke Indonesia dan negara Asean lainnya
sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mirip[1].
Pada awalnya upaya menstabilkan mata uang dan
menahan tekanan spekulatif di pasar uang dan bursa saham di beberapa negara
anggota Asean, seperti Indonesia
dan Malaysia,
dilakukan dengan melakukan intervensi langsung di pasar valas, menaikan suku
bunga dan menerapkan beberapa pembatasan aliran uang serta kontrol devisa[2]. Namun intervensi di pasar
valas telah menyebabkan cadangan devisa negara habis karena ekspor yang sedang
melemah tidak dapat dijadikan andalan sebagai sumber pemasukan devisa.
Melemahnya nilai tukar domestik telah memberikan dampak serius pada kegiatan
ekonomi riil, khususnya usaha yang tergantung pada bahan baku impor dan pembiayaan non-rupiah. Sedangkan
tindakan pemerintah untuk menaikkan tingkat suku bunga guna menopang nilai mata
uang menyebabkan tekanan terhadap perekonomian khususnya di sektor riil dan
akan dapat semakin menjatuhkan harga saham di bursa.
Akhirnya
pihak yang berwenang pada masing-masing negara anggota Asean berupaya mencari
jalan lain untuk bisa mengatasi krisis finansial yang terjadi. Reformasi dan
restrukturisasi ekonomi dan sektor perbankan menjadi pilihan untuk mengatasi
kelemahan di kedua sektor ini. Di Indonesia, Thailand, dan Malaysia tindakan ini diwujudkan
dalam penutupan bank-bank dan lembaga keuangan yang insolven, sedangkan lembaga
keuangan yang masih bisa bertahan diperbaiki melalui rekapitalisasi dan merger.
Di Indonesia untuk mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka
terjadi perubahan sistem nilai tukar dengan menghapus rentang intervensi dan
menganut sistem tukar mengambang bebas (flexible
exchange rate).
Upaya
pemerintah di tiap negara Asia yang terkena krisis moneter lebih difokuskan
pada empat bidang utama dimana dua diantaranya yaitu, bidang moneter, dengan
melakukan kebijakan moneter ketat untuk mengurangi penurunan atau depresiasi
nilai mata uang domestik yang berlebihan, serta bidang perbankan yang ditempuh
dengan kebijakan perbaikan kelemahan sistem perbankan untuk memperbaiki dampak
krisis dan menghindari krisis di masa yang akan datang[3].
Krisis di Asia memperlihatkan fluktuasi pada nilai
tukar domestik, suku bunga dan harga saham di tiap negara anggota Asean.
Devaluasi Bath Thailand
pada pertengahan tahun 1997 telah diikuti oleh beberapa negara anggota Asean
lain. Fluktuasi ini terus terjadi saat upaya perbaikan krisis dilakukan. Hal
ini tidak hanya terjadi sebagai dampak dari faktor fundamental ekonomi tapi
juga didukung oleh aksi spekulan valas.
Tabel 1.1 memperlihatkan perubahan nilai tukar
di lima negara
Asean periode 1996 – 2003. Gambar 1.1 memperlihatkan pergerakan pada indeks
harga saham di lima
negara Asean periode 1995 – Januari 2004. Sedangkan tabel 1.2 memperlihatkan
perubahan tingkat suku bunga deposito 3 bulanan dalam rata-rata tiap tahun 5
negara Asean periode 1996 – 2003.
Tabel 1.1
Nilai Tukar Nominal Domestik Terhadap Dollar (USD)
di Lima Negara Anggota Asean
Periode 1996 – 2003
Tahun
|
Indonesia
|
Malaysia
|
Filipina
|
Singapura
|
Thailand
|
1996
|
2,342
|
2.52
|
26.22
|
1.41
|
25.32
|
1997
|
2,909
|
2.81
|
29.47
|
1.48
|
31.32
|
1998
|
10,014
|
3.92
|
40.89
|
1.67
|
41.31
|
1999
|
7,855
|
3.80
|
39.09
|
1.69
|
37.79
|
2000
|
8,422
|
3.80
|
44.19
|
1.72
|
40.11
|
2001
|
10,250
|
3.80
|
50.99
|
1.79
|
44.43
|
2002
|
9,318
|
3.80
|
51.77
|
1.79
|
42.96
|
2003
|
8,575
|
3.80
|
54.20
|
1.74
|
41.51
|
Sumber: ASEAN Finance and
Macroeconomic Surveillance Unit
Grafik 1.1
Indeks Harga Saham Gabungan di Lima Negara Asean
Periode 1995 – Januari 2004

Sumber : Statistik Pasar Modal – Biro PIR Bapepam
Keterangan :
Indonesia : IHSG
Singapura : STI
Malaysia : KLSE
Thailand :SETI
Filipina
: PSE
Tabel 1.2
Tingkat
Suku Bunga Rata-Rata Deposito 3 Bulanan
di Lima
Negara Asean Periode 1996 – 2003
Negara
|
1996
|
1997
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
|
Indonesia
|
17.03
|
23.92
|
12.95
|
13.24
|
17.24
|
13.63
|
7.14
|
|
Malaysia
|
7.21
|
9.06
|
3.33
|
3.47
|
3.21
|
3.20
|
3.00
|
|
Filipina
|
9.73
|
12.50
|
7.18
|
12.09
|
8.83
|
3.80
|
5.34
|
|
Singapura
|
3.41
|
4.10
|
1.68
|
1.70
|
1.10
|
0.78
|
0.42
|
|
Thailand
|
9.75
|
11.5
|
3.75
|
3.00
|
2.25
|
1.75
|
1.00
|
Sumber: ASEAN Finance and Macroeconomic
Surveillance Unit
Setelah mengamati kondisi perekonomian di kawasan
negara anggota Asean sebelum, selama dan setelah krisis, maka fluktuasi nilai
tukar domestik, suku bunga dan harga saham merupakan salah satu hal yang
menarik untuk dicermati. Krisis moneter di kawasan Asia
diperlihatkan oleh fluktuasi yang tinggi pada ketiga indikator moneter
tersebut. Maka timbul pertanyaan apakah pergerakan pada salah satu variabel
diatas memiliki pengaruh pada masing-masing variabel lainnya.
Terdapat banyak argumen berkaitan dengan pandangan
diatas. Bahkan Granger (2000) menyatakan, hubungan antara variabel bisa dua
arah[4]. Misalnya Granger
menyatakan, fluktuasi pada nilai tukar akan dapat mengarah pada pergerakan
harga saham, hal ini disebut juga pendekatan tradisional (traditional approach). Sebaliknya pergerakan bursa saham dapat
menyebabkan aliran modal yang berakhir pada fluktuasi nilai tukar. Ini dikenal
dengan pendekatan portfolio (portfolio
approach).
Disamping itu variabel suku bunga juga ikut
mempengaruhi fluktuasi harga saham dan nilai tukar. Suku bunga deposito menjadi
salah satu tolak ukur masyarakat dalam menanamkan modalnya. Pemilik modal akan
mengalokasikan kekayaannya pada aset berdasarkan tingkat return dan resiko yang ada pada suatu aset. Suku bunga deposito menjadi
hal yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian khususnya
sektor riil serta aliran modal di suatu negara.
Maka berdasarkan uraian di atas dan perkembangan
perekonomian di lima negara anggota Asean dari sejak awal krisis hingga saat
ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “PENGUJIAN KAUSALITAS GRANGER ANTARA NILAI
TUKAR, SUKU BUNGA DEPOSITO DAN HARGA SAHAM DI LIMA NEGARA ASEAN SEBELUM DAN
SESUDAH KRISIS MONETER PERIODE 1995.1 – 2004.6“
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan deskripsi yang dituangkan di atas, maka
pembahasan skripsi ini akan dibatasi pada beberapa pokok permasalahan sebagai
berikut:
1
Bagaimanakah pengaruh nilai
tukar domestik terhadap Dollar (USD) pada indeks harga saham dan suku bunga
deposito sebelum dan sesudah krisis di lima negara anggota Asean ?
2
Bagaimanakah pengaruh indeks
harga saham pada nilai tukar domestik terhadap Dollar (USD) dan suku bunga
deposito sebelum dan sesudah krisis di lima negara anggota Asean ?
3
Bagaimanakah pengaruh suku
bunga deposito pada nilai tukar domestik terhadap Dollar (USD) dan indeks harga
saham sebelum dan sesudah krisis di lima negara anggota Asean ?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui pengaruh
nilai tukar domestik terhadap Dollar (USD) pada indeks harga saham dan suku bunga deposito sebelum
dan setelah krisis di lima negara anggota Asean periode 1995.1 – 2004.6
2.
Untuk mengetahui pengaruh
indeks harga saham pada nilai tukar domestik terhadap Dollar (USD) dan suku
bunga deposito sebelum dan sesudah krisis di lima negara anggota Asean periode
1995.1 – 2004.6.
3.
Untuk mengetahui pengaruh
suku bunga deposito pada nilai tukar domestik terhadap Dollar (USD) dan indeks
harga saham sebelum dan sesudah krisis di lima negara anggota Asean periode
1995.1 – 2004.6.
1.4 Manfaat
Penelitian
Kegunaan
dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi dua aspek yaitu aspek praktis
dan aspek akademis.
1.
Kegunaan praktis, penelitian
ini dapat menghasilkan implikasi yang lebih bernilai untuk para pembuat
kebijakan dalam memecahkan permasalahan perekonomian Indonesia dalam bidang
makroekonomi berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar, suku bunga deposito dan
harga saham
2.
Kegunaan akademis, sebagai
referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam serta
dapat memacu motivasi kepada peneliti lainnya untuk melakukan penelitian
sejenis dengan menggunakan metode yang lain.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Nilai Tukar
Nilai tukar adalah sejumlah mata uang asing yang bisa
didapatkan dengan satu unit mata uang domestik. Dengan kata lain, nilai tukar
menjelaskan daya beli mata uang domestik atas mata uang negara lain. Ketika
terjadi kenaikan nilai mata uang domestik relatif terhadap mata uang negara
lain maka dikatakan mata uang domestik mengalami apresiasi, mata uang domestik
kini dapat ‘membeli’ lebih banyak mata uang lain.
Sebaliknya, ketika mata uang domestik mengalami penurunan
nilai relatif terhadap mata uang negara lain maka mata uang domestik dikatakan
mengalami depresiasi, mata uang domestik kini hanya mampu ‘membeli’ lebih
sedikit mata uang negara lain.
Berdasarkan definisi diatas maka nilai tukar mengacu pada
harga relatif, sehingga nilai tukar seharusnya ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran relatif. Karena harga relatif melibatkan dua mata
uang, maka nilai tukar seharusnya berhubungan dengan permintaan dan penawaran
dari kedua jenis mata uang tersebut.
1.5.2 Indeks Harga Saham
Indeks harga saham mengukur kinerja keseluruhan
dari saham yang masuk dalam indeks. Suatu indeks dapat digunakan dalam
mengevaluasi bagaimana kinerja suatu saham atau reksa dana relatif terhadap
saham lain yang ada dalam indeks.Total dari saham yang ada dalam indeks adalah
seluruh saham yang diperdagangkan, atau
kelompok saham tertentu berdasarkan nilainya maupun jenis perusahaannya.
Penghitungan
indeks di bursa adalah indeks yang menggunakan rata-rata tertimbang dari nilai
pasar (market value weighted average
index). Rumus dasar penghitungan adalah[5]:

Nilai pasar adalah kumulatif jumlah saham
hari ini dikali harga pasar hari ini (kapitalisasi pasar), atau ditulis dengan
formula:

Dimana:
c = Closing price (harga yang terjadi) untuk emiten ke-i.
n = Jumlah saham yang digunakan untuk penghitungan indeks (jumlah
c = Closing price (harga yang terjadi) untuk emiten ke-i.
n = Jumlah saham yang digunakan untuk penghitungan indeks (jumlah
saham yang tercatat) untuk emiten ke-i
N =
Jumlah emiten yang tercatat di bursa saham.
1.5.3 Suku Bunga
Suku bunga merupakan pengembalian (return) dari peminjaman saat ini dan biaya dari peminjaman saat
ini. Atau suku bunga juga dapat diartikan sebagai pengembalian (return) dari pengeluaran di masa depan
dan biaya dari pembayaran di masa depan. Lebih lanjut, tingkat suku bunga
merepresentasikan time value of money
dimana seseorang dapat menukarkan nilai beli (purchasing power) saat ini dengan nilai beli masa depan. Perubahan
pada tingkat suku bunga dipengaruhi oleh perubahan pada permintaan dan/atau
penawaran atas dana. Dimana permintaan dari dana dipengaruhi oleh pendapatan
dan produktifitas dari suatu investasi. Penawaran atas dana dipengaruhi oleh kelebihan
dana pengeluaran (surplus spending unit)
dari pihak rumah tangga, perusahaan, dan asing serta kebijakan pemerintah dalam
ketersediaan cadangan pada lembaga
keuangan. Hal-hal yang mempengaruhi permintaan dan penawaran atas dana juga
mempengaruhi pergerakan dari tingkat suku bunga.
Pelaku ekonomi yang berniat untuk melakukan transaksi
pinjam meminjam akan sangat memperhatikan tingkat suku bunga nominal dan
inflasi. Tingkat suku bunga nominal adalah tingkat bunga riil ditambah
ekspektasi atas inflasi :

Maka tingkat suku bunga nominal akan selalu dipengaruhi
oleh pergerakan inflasi. Sementara tingkat suku bunga riil adalah tingkat bunga
yang sudah disesuaikan dengan perubahan nilai beli atas uang (inflasi)
1.5.4 Teori Portfolio
Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk membeli suatu aset, yakni[6] :
1
Kekayaan (Wealth),
jika kekayaan seseorang semakin meningkat maka ia memiliki kemampuan yang lebih
tinggi untuk membeli aset.
2
Harapan Hasil (Expected
Return), yakni harapan atas hasil yang didapatkan dari kepemilikan suatu
aset. Pada saat seseorang menyimpan asetnya dalam mata uang domestik atau mata
uang asing baik berupa giro, tabungan, deposito atau saham maka ia akan
mempertimbangkan ekspektasi keuntungan
yang bisa didapat dari mata uang domestik atau mata uang asing baik berupa giro, tabungan, deposito atau saham. Apabila
ekspektasi terhadap melemahnya mata uang domestik semakin tinggi maka
permintaan terhadap mata uang asing semakin meningkat.
3
Resiko (Risk),
yaitu tingkat ketidakpastian yang dihubungkan dengan suatu aset relatif
terhadap aset-aset lainnya.Biasanya aset yang memiliki tingkat resiko tinggi
memiliki return yang cukup besar. Seorang risk
averse akan cenderung menghindari kepemilikan aset yang beresiko tinggi,
sebaliknya seorang risk preferer akan
cenderung memilih aset yang beresiko tinggi dengan return yang tinggi sebagai kompensasinya.
4
Likuiditas (Liquidity),
yaitu seberapa cepat dan mudah suatu aset diubah dalam bentuk uang tunai (cash). Suatu aset akan semakin likuid
jika memiliki banyak pembeli dan penjual serta biaya transaksi yang rendah.
1.5.5 Interest
Parity Condition
Salah satu hal yang mendasari fluktuasi mata uang
adalah teori kesamaan tingkat bunga (interest
parity theory). Teori paritas suku bunga mencerminkan terjadinya
keseimbangan di pasar valuta asing. Pasar valas berada dalam keseimbangan jika
deposito dari semua mata uang memberikan harapan hasil yang sama.
[1] Soedradjad Djiwandono. 11 Agustus 1998. The Rupiah – One Year After The Float. Pointers for an address to
be delivered at a luncheon organized by The Indonesian Australian Business
Council.
[2] Bank Negara Malaysia.
Juni 1998. Krisis Asia Timur – Penyebab,
Kebijakan Penanggulangan, Pelajaran dan Wawasan., Kertas Kerja Pertemuan
G-15.
[3] Sabirin, Syahril. 2000. Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter-Perbankan
dan Independensi Bank Indonesia.
Publikasi Bank Indonesia.
[4] Hooi-Hooi et all. 2003. Bivariate Causality Between Exchange Rate
and Stock Price On Major Asian Countries. Departement Of Economics National
University Of Singapore.
[5] PT Bursa
Efek Jakarta. 2001. Panduan Pemodal Seri
I : Investasi di Pasar Modal.
[6] Mishkin, Frederic. 2001. The
Economics of Money Banking and Financial Market. Sixth Edition. Harper
Collins.
0 Komentar