MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN PADA KOPERASI BMT MASLAHAH MURSALAH LIL UMMAH SIDOGIRI PASURUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perekonomian
suatu negara sangat ditopang oleh peranan bisnis yang dilakukan oleh para
penduduknya. Begitu juga dengan bisnis lembaga keuangan yang berperan mengelola
keuangan masyarakat. Dalam ilmu ekonomi kita kenal hukum “bila uang banyak beredar
di masyarakat akan mengakibatkan inflasi”. Sehingga di sinilah peran lembaga
keuangan yang dapat menyeimbangkan jumlah uang yang beredar dengan uang yang
disimpan. Bagi sebuah lembaga yang merupakan bisnis keuangan, produk yang
diperjualbelikan adalah jasa keuangan. Sebelum dilakukan penjualan jasa
keuangan, lembaga keuangan haruslah terlebih dulu membeli jasa keuangan yang
tersedia di masyarakat dan membeli jasa keuangan dapat diperoleh dari berbagai
sumber dana yang ada, terutama sumber dana dari masyarakat luas (Kasmir, 2001:
45).
Lembaga keuangan
berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediary), maka
dalam hal ini faktor “kepercayaan” dari masyarakat merupakan faktor utama dalam
menjalankan bisnis perbankan. Secara fungsional, lembaga keuangan non bank
memiliki persamaan dengan perbankan, namun juga memiliki perbedaan dalam
manajemen operasionalnya. Adapun yang termasuk lembaga keuangan non bank di
antaranya seperti asuransi, reksadana, pasar modal, dan Baitul Maal wa Tamwil.
Ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu membantu atau melayani
masyarakat dalam hal keuangan.
Tidak hanya perbankan
yang dapat berfungsi sebagai Financial Intermediary, namun ada pula
lembaga keuangan non bank, sebut saja salah satunya adalah koperasi. Koperasi merupakan salah satu dari tiga kelompok
pelaku ekonomi Indonesia
yaitu BUMN/BUMD, swasta, dan koperasi. Eksistensi koperasi telah diakui secara
nasional sehingga termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan terwujud dalam
Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian.
Keberadaan koperasi
telah direspon positif oleh masyarakat. Namun sampai saat ini peran utama
koperasi dalam percaturan ekonomi Indonesia belum nampak baik, bahkan
terkesan ketinggalan dibanding dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain. Mungkin
karena beberapa hal, antara lain pengelolaannya yang kurang serius dan tidak
profesional, kurang memiliki karakter shiddiq dan amanah atau
mungkin juga karena modal yang kurang memadai. Koperasi yang menerapkan pola
simpan pinjam dengan prinsip syariah biasa disebut Baitul Mal wa Tamwil
(BMT).
Ridwan (2004) dalam Habibah (2008: 3)
menjelaskan bahwa di antara lembaga keuangan yang terkait langsung dengan upaya
pengentasan kemiskinan adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dengan sistem syariahnya.
Apalagi masyarakat pedesaan yang belum terjangkau oleh lembaga keuangan
perbankan. Sehingga dengan ini, keberadaan BMT dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat kecil yang kelebihan dana maupun yang kekurangan dana.
BMT
merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah yang paling sederhana yang
saat ini banyak muncul dan tenggelam di Indonesia. Sayangnya, gairah
munculnya begitu banyak BMT di Indonesia tidak didukung oleh faktor-faktor
pendukung yang memungkinkan BMT untuk terus berkembang dan berjalan dengan
baik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan banyaknya BMT yang tenggelam dan
bubar yang disebabkan oleh berbagai macam hal antara lain: manajemennya yang
amburadul, pengelola yang tidak amanah dan profesional, tidak dipercaya
masyarakat, kesulitan modal, dan lain sebagainya. Akibatnya, citra yang timbul
di masyarakat sangat jelek. BMT identik dengan jelek, tidak dapat dipercaya,
dan sebagainya.
Suatu BMT
tetap harus memenuhi kriteria-kriteria layaknya sebuah bank syariah besar
dengan beribu-ribu nasabahnya. Salah satu alasan yang sederhana adalah sebuah
lembaga yang mengelola uang masyarakat, tentunya harus kredibel, dapat
dipercaya oleh masyarakat. Siapapun pasti ingin dirinya diyakinkan bahwa uang
yang dia simpan di suatu BMT aman dari resiko apapun dan setiap saat dapat
mengambil uangnya kembali.
Usaha untuk
mempertahankan kualitas kinerja dan kelangsungan usaha berdasarkan prinsip
syariah tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas dari penanaman dana
(manajemen dana). Manajemen dana sebagai suatu usaha pengelolaan dana bertujuan
untuk mengelola posisi dana yang dihimpun dan pengalokasiannya pada aktivitas financing
yang tepat dan optimal sehingga menghasilkan tingkat kinerja yang bagus di mata
para stakeholders. Berikut ini adalah tabel data mengenai penghimpunan
dan pengalokasian dana oleh “BMT Maslahah Mursalah Lil Ummah”, yaitu:
Tabel 1.1
Penghimpunan dan Pengalokasian Dana BMT-MMU
Periode 2006-2008
MANAJEMEN DANA
|
Tahun 2006
|
Tahun 2007
|
Tahun 2008
|
Penghimpunan
DPK
|
Rp16.092.514.225,11
|
Rp20.538.776.289,62
|
Rp30.664.359.953,36
|
Pengalokasian
Dana
|
Rp12.710.176.480,-
|
Rp14.511.821.388,-
|
Rp21.646.845.476,-
|
Data di atas
menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap BMT semakin baik dan minat
mereka untuk menabungkan dananya pada BMT-MMU terus meningkat. Hal tersebut
tentu tidak lepas dari kinerja lembaga BMT itu sendiri.
Terbukti pula dengan
semakin bertambahnya kantor cabang BMT-MMU di setiap kecamatan di Pasuruan. Di
mana pada tahun 2006 BMT-MMU memiliki kantor cabang sebanyak 14 unit, tahun
2007 mejadi 17 unit, dan tahun 2008 bertambah lagi 3 unit menjadi 20 unit
kantor cabang.
Tidak semua lembaga
keuangan mampu mengelola dananya dengan efektif dan efisien sehingga akan
berdampak pada kinerja keuangan lembaga itu sendiri. Manajemen dana yang
diterapkan belum tentu bisa mencapai sasaran pengelolaan aktiva. Oleh karena
itu dibutuhkan manajemen dana yang efektif dan sumber daya yang profesional.
Dari segi penerimaan dana bank syariah menawarkan produk funding
didukung dengan fasilitas bagi hasil. Sedangkan pengelolaan penyaluran dana
harus memperhatikan jenis aktivitas dan jangka waktunya, karena kegiatan
penyaluran dana tersebut merupakan pemberian pinjaman atau penyertaan dana
tersebut dari bank kepada nasabah yang berarti pembayaran akan dilakukan di
waktu yang akan datang (saat jatuh tempo). Sedangkan dana yang disalurkan
sebagian besar berasal dari dana pihak ketiga.
Begitu pula dengan lembaga keuangan lainnya seperti
BMT, yang juga berfungsi sebagai perantara keuangan. Hanya saja cakupan dan
peranan bisnis BMT tidak sebesar perbankan, karena BMT tak lain hanyalah
sejenis koperasi yang berasaskan kekeluargaan.
Masyarakat
sebagai pihak yang paling berperan, pada umumnya memiliki sikap tanggap
terhadap berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh masing-masing instansi
untuk menarik simpati mereka. Simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap suatu
BMT tidak terlepas dari penilaian tingkat kesehatan BMT tersebut.
Untuk menilai
kesehatan BMT, faktor penilaian kesehatan yang digunakan juga sama dengan
faktor penilaian kesehatan perbankan. Hanya saja penilaian kesehatan BMT dapat
ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek Jasadiyah dan aspek Ruhiyah. Sistem
penilaian kesehatan bank di Indonesia dan di dunia internasional meliputi Capital,
Asset, Management, Earning ability, dan Liquidity atau yang lazim
disebut CAMEL. Aspek-aspek tersebut satu dengan yang lainnya saling terkait,
secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan. Penilaian terhadap faktor CAMEL
tersebut merupakan penilaian dari aspek Jasadiyah, sedangkan aspek Ruhiyah
dapat dinilai dari ruh dan prinsip kerja BMT. Dengan diketahuinya tingkat
kesehatan, maka diketahui pula kinerja BMT itu sendiri.
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen dana sangatlah penting dalam
operasional lembaga keuangan khususnya BMT selaku lembaga yang
memperjualbelikan jasa keuangan (dana). Maka penulis di sini mencoba merangkai
berbagai tulisan terkait mengenai teori manajemen dana dengan penilaian tingkat
kesehatan BMT yang ditinjau dari aspek Jasadiyah (analisis CAMEL) dan aspek
Ruhiyah, hingga kemudian muncul judul “Manajemen
Pengelolaan Dana Sebagai Upaya Peningkatan Kesehatan Pada Koperasi BMT Maslahah
Mursalah Lil Ummah Sidogiri Pasuruan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan
di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana manajemen pengelolaan dana yang digunakan oleh BMT-MMU sebagai upaya peningkatan kesehatan?
- Bagaimana tingkat kesehatan BMT-MMU ditinjau dari aspek Jasadiyah (analisis CAMEL) dan aspek Ruhiyah?
C. Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah
dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
- Untuk mendeskripsikan tentang manajemen pengelolaan dan pengalokasian dana yang dimiliki sebagai upaya peningkatan kesehatan BMT-MMU.
- Untuk mendeskripsikan aplikasi tingkat kesehatan BMT-MMU ditinjau dari segi Aspek Jasadiyah (analisis CAMEL) dan Aspek Ruhiyah.
D. Manfaat
Penelitian
Bagi BMT:
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini, hasil akhir penilaian
Tingkat Kesehatan BMT bagi pihak manajemen BMT sendiri dapat digunakan sebagai
salah satu alat untuk menetapkan strategi, mengambil keputusan dan kebijakan
yang akan datang.
Bagi Insan Akademik:
Hasil yang ditemukan dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan
dan dijadikan sebagai acuan serta pedoman bagi peneliti di masa yang akan
datang yang juga tertarik untuk membahas tentang manajemen pengelolaan dana dan
penilaian tingkat kesehatan BMT.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian
Terdahulu
Penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Maulidatul Mufiydah (2006) dalam skripsinya yang
berjudul “Analisis Manajemen Dana Sebagai Salah Satu Variabel Pengendalian
Likuiditas, Rentabilitas dan Solvabilitas Bank” dijelaskan bahwa dana
terbesar dalam sebuah bank adalah berasal dari pihak ketiga.
Sedangkan dalam skripsi Lilik Hamidah yang berjudul “Pentingnya
Likuiditas Dalam Manajemen Dana Pada BMT Maslahah Mursalah Lil Ummah Pasuruan”
dijelaskan pada komposisi sumber dana, porsi terbesar diduduki oleh tabungan
MDA umum, pinjaman pihak ketiga dan tabungan MDA berjangka yang merupakan dana
mahal. Sedangkan sumber dana lainnya seperti tabungan wadiah merupakan dana
murah, tetapi tidak dalam jumlah yang signifikan.
Tabel 2.1
Matriks
Penelitian Terdahulu
NO
|
NAMA (TAHUN)
|
JUDUL
|
METODE PENELITIAN
|
HASIL
|
1
|
Maulidatul Mufiydah (2006)
|
Analisis Manajemen Dana Sebagai
Salah Satu Variabel Pengendalian Likuiditas, Rentabilitas dan Solvabilitas
Bank
|
Teknik pengumpulan data yang
digunakan ialah dokumentasi. Metode analisis deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif.
|
Selama tahun 2003-2005 dana pihak
ketiga selalu memberikan porsi dana terbesar bagi PT. Bank Syariah Mandiri.
Total dana akhir tahun 2003 & 2004 mengalami peningkatan karena sumber
dana yang diperoleh lebih besar dibandingkan penggunaannya. Pada akhir tahun
2005, terjadi penurunan pada kas dan setara kas karena adanya peningkatan
beberapa transaksi yang berefek memperkecil kas. Namun, BSM tidak rugi karena
di awal tahun 2005 masih terdapat kas dan setara kas yang besar dan sanggup
menutupi kekurangan tersebut.
|
2
|
Hernawa Rachmanto (2006)
|
Analisis Tingkat Kesehatan Bank
Syariah dengan Menggunakan Metode CAMEL
|
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah dokumentasi dan wawancara. Dengan metode analisis deskriptif
aspek CAMEL.
|
Dalam periode 5 tahun (2001-2005)
kinerja PT Bank Syariah Mandiri semakin membaik & yg paling baik yaitu
tahun 2003 dimana tingkat kesehatan mencapai 55,90.
|
3
|
Lilik Hamidah (2007)
|
Pentingnya Likuiditas Dalam
Manajemen Dana Pada BMT Maslahah Mursalah Lil Ummah Pasuruan
|
Teknik pengumpulan data yang
digunakan ialah dokumentasi, studi pustaka, dan wawancara. Menggunakan model
analisis data kuantitatif dengan analisis Time Series.
|
Terdapat kekurangan dana untuk
menutupi penggunaan dana, hal ini terlihat dari perhitungan Loan to
Deposit Ratio di mana terlihat prosentase LDR dari tahun 2003-2005 di
atas 100%. Dari sanalah diketahui bahwa BMT mengalami kekurangan dana/defisit
untuk menutupi penggunaan dana antara lain pembiayaan.
|
4
|
Habibah (2008)
|
Pengelolaan Dana Untuk Menjaga
Kestabilan Likuiditas dan Solvabilitas Dalam Meningkatkan Profitabilitas Pada
BMT MMU Sidogiri Pasuruan
|
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, dokumentasi, dan wawancara. Analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif.
|
Pengelolaan Dana di BMT, baik
pengelolaan dana untuk lingkup komersil maupun sosial. BMT MMU Sidogiri
menggunakan pendekatan Pool of FundApproach.
|
5
|
Latifatur Rahmaniya (2009)
|
Manajemen Pengelolaan Dana Sebagai
Upaya Peningkatan Kesehatan Pada Koperasi BMT Maslahah Mursalah Lil Ummah
Sidogiri Pasuruan
|
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, dokumentasi, dan wawancara. Analisis data yang
digunakan adalah kualitatif dengan analisis deskriptif tingkat kesehatan BMT.
|
Dari penilaian kesehatan BMT-MMU
selama periode 2006-2008 termasuk kategori “Sehat”, baik secara aspek Jasadiyah
(analisis CAMEL) maupun aspek Ruhiyah.
|
Dengan melihat tabel di
atas, maka nampak akan adanya persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang terdahulu. Adapun persamaannya adalah tema pembahasan tentang
Manajemen Dana dan metode penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif
deskriptif.
Sedangkan letak
perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang ini yaitu
faktor atau unsur yang berkaitan dengan tema pembahasan. Dalam penelitian saat
ini mendeskripsikan tentang Manajemen Dana yang berhubungan dengan Tingkat
Kesehatan BMT. Begitu pula ada perbedaan pada tahun atau periode sampel
penelitian, di mana penelitian saat ini mengambil periode sampel penelitian
pada tahun 2006-2008.
B. Kajian Teoritis
1. Sekilas tentang
Koperasi
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Reksohadiprodjo,
1998: 1).
Adapun tujuan koperasi adalah memajukan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan
makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti halnya lembaga-lembaga atau badan usaha lain
koperasi hidup di tengah-tengah lingkungan yang mempunyai karakteristik khas Indonesia.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh koperasi Indonesia pada hakikatnya timbul
dari suasana lingkungan tersebut yang juga secara langsung mempengaruhi keadaan
intern lembaga koperasi tersebut (Reksohadiprodjo, 1998: 3).
Derajat besar kecilnya persoalan dengan sendirinya
tergantung pada kekuatan koperasi, artinya ketahanan koperasi terhadap
lingkungannya dipengaruhi oleh kekuatan atau kelemahan koperasi tersebut.
Dengan demikian mungkin saja bahwa pengaruh lingkungan itu berbeda-beda dirasakan
oleh masing-masing koperasi.
Walaupun sebagai badan usaha koperasi dimiliki oleh
anggotanya, namun dalam mengerjakan tugas-tugasnya diserahkan kepada orang
lain, yaitu pengelola. Sedangkan pengawasannya dilaksanakan oleh orang lain
yaitu pengawas. Berbagai karakteristik koperasi yang membedakannya dengan
perseroan adalah:
a. Pemilik adalah
anggota sekaligus juga pelanggan.
b. Kekuasaan
tertinggi berada pada Rapat Anggota.
c. Satu anggota
adalah satu suara.
d. Organisasi ini
diurus secara demokratis.
e. Tujuan yang
ingin dicapai adalah mensejahterakan anggotanya, jadi tidak hanya mengejar
keuntungan saja. Di sini fungsi sosial sangat diperhatikan oleh koperasi.
f.
Keuntungan dibagi berdasarkan besarnya jasa anggota
kepada koperasi.
g. Koperasi
merupakan sekumpulan orang atau badan hukum yang berusaha mensejahterakan
masyarakat (termasuk para anggotanya).
h. Koperasi
merupakan alat perjuangan ekonomi.
i.
Koperasi merupakan sistem ekonomi.
j.
Unit usaha diadakan dengan orientasi melayani anggota.
k. Tata
pelaksanaannya bersifat terbuka bagi seluruh anggota.
Karakteristik urutan g, h, dan i mensyaratkan bahwa
manajemen koperasi harus menggunakan pendekatan situasional atau kondisional.
Sebaliknya, untuk karakteristik a, b, c, d, e, dan f dapat digunakan pendekatan
Management by Objective (MBO). Segala perencanaan, pengorganisasian,
koordinasi, dan pengawasan, baik yang dilakukan oleh pelaksana maupun pengurus
benar-benar berorientasi ke tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi,
metode MBO merupakan pendekatan yang digunakan untuk menilai prestasi kerja
masing-masing, di mana penilaian dilakukan dengan membandingkan hasil kerja
yang dicapai dengan yang direncanakan (Sukamdiyo, 1996: 20-21).
2. Baitul Maal Wa
Tamwil
a. Pengertian
Usaha BMT
Kata Baitul mal berasal dari kata bait
dan al-mal. Bait artinya bangunan atau rumah, sedangkan al-mal
berarti harta benda atau kekayaan. Jadi baitul mal secara harfiah
berarti rumah harta benda atau kekayaan. Namun demikian, kata baitul mal
biasa diartikan sebagai perbendaharaan (umum atau negara) (Lubis, 2004: 114).
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) pada dasarnya merupakan
pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama dalam bidang keuangan.
Menurut Widodo, dkk (1999) dalam Hamidah (2007: 16) istilah BMT adalah
penggabungan dari Baitul Mal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal
adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba
(sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infaq dan sedekah, atau sumber lain
yang halal. Kemudian dana tersebut disalurkan kepada mustahiq yang berhak atau
untuk kebaikan. Adapun Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang
kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit
motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan
penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi, yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah.
BMT (Baitul Maal wat Tamwil) atau padanan kata
Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan
dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil,
dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum
fakir miskin (Azis, 2008: 2). Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi yaitu:
1) Baitut Tamwil (Bait = rumah;
at-Tamwil = pengembangan harta). Melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan
kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonominya.
2) Baitul Maal (Bait = rumah;
Maal = harta). Menerima titipan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Menurut Ridwan (2004) dalam Hamidah (2007: 17)
BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Peran sosial BMT
akan terlihat pada definisi Baitul Maal, sedangkan peran bisnis BMT
terlihat dari definisi Baitul Tamwil. Sebagai lembaga sosial, Baitul
Maal memiliki kesamaan fungsi dan peran dengan lembaga Amil Zakat. Sebagai
lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor jasa keuangan, yakni
simpan pinjam seperti usaha perbankan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa BMT
sebagai Baitul Maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus menyalurkan
dana sosial, serta sebagai Baitut Tamwil yang berfungsi sebagai lembaga
bisnis yang bermotif laba. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada
aturan perbankan.
Badan hukum yang paling mungkin untuk BMT adalah
koperasi, namun sangat mungkin dibentuk perundangan sendiri, mengingat sistem
operasional BMT tidak sama persis dengan perkoperasian (Ridwan, 2004 dalam Hamidah,
2007: 17).
b. Visi BMT
Visi BMT adalah mewujudkan kualitas masyarakat di
sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera dengan mengembangkan lembaga dan
usaha BMT dan POKUSMA (Kelompok Usaha Muamalah) yang maju berkembang, terpercaya,
aman, nyaman, transparan, dan berkehati-hatian (Azis, 2008: 3).
c. Misi BMT
Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan
perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur, maju
berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT.
Sehingga misi
BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba, tetapi lebih
berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil sesuai dengan
prinsip-prinsip ekonomi Islam.
d. Tujuan BMT
Didirikannya BMT bertujuan untuk meningkatkan kualitas
usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya agar dapat mandiri dan tidak tergantung pada BMT dengan memberikan
modal pinjaman. Namun demikian BMT harus menciptakan suasana keterbukaan,
sehingga dapat mendeteksi berbagai kemungkinan yang timbul dari pembiayaan.
e. Asas dan
Landasan Usaha BMT
BMT berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta
berlandaskan prinsip syariah Islam, keimanan, keterpaduan (Kaffah),
kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme.
f. Kendala
Pengembangan BMT
Dalam perkembangannya BMT tentunya
tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun tidak terlalu berlaku sepenuhnya
kendala ini di suatu BMT. Kendala-kendala tersebut menurut Sudarsono (2004) dalam
Habibah (2008: 21), adalah sebagai berikut:
1) Akumulasi
kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT, hal ini yang menjadikan
nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran kewajiban dari nasabah cukup
cepat. Dan belum tentu pembiayaan yang diberikan BMT cukup memadai untuk modal
usaha masyarakat.
2) Walaupun
keberadaan BMT cukup dikenal tetapi masih banyak masyarakat berhubungan dengan
rentenir. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai
dan pelayanan yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi. Ternyata
ada beberapa daerah yang terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum
mampu memberikan pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu.
3) Beberapa BMT
cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang bermasalah.
Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu tempat tetapi di
tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu upaya dari masing-masing BMT
untuk melakukan koordinasi dalam rangka mempersempit gerak nasabah yang
bermasalah.
4) BMT cenderung
menghadapi BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan, bukan sebagai partner
dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat dari permasalahan ekonomi yang ia
hadapi. Keadaan ini kadang menciptakan iklim persaingan yang tidak islami,
bahkan hal ini mempengaruhi pola pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis.
5) Dalam kegiatan
rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorientasi pada
persoalan bisnis (Business Oriented). Sehingga timbul kecenderungan
kegiatan BMT bernuansa pragmatis lebih dominan daripada kegiatan yang bernuansa
idealis.
6) Dalam upaya
untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT mempertimbangkan besarnya
bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang berprinsip jual beli (Bai’).
Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk berpikir profit oriented daripada
memahamkan aspek syariah, lewat cara membandingkan keuntungan bagi hasil BMT
dengan bunga di bank dan lembaga keuangan konvensional.
7) BMT lebih
cenderung menjadi Baitut Tamwil daripada Baitul Maal. Di mana
lebih banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis daripada untuk
mengelola zakat, infaq, dan sedekah.
8) Pengetahuan
pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam menangkap masalah-masalah
dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang.
g. Strategi
Pengembangan BMT
Semakin berkembangnya masalah
ekonomi masyarakat, maka berbagai kendala tidak mungkin dilepaskan dari
keberadaan BMT. Oleh karena itu, perlu strategi yang jitu guna mempertahankan
eksistensi BMT tersebut. Strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Sumber daya
manusia yang kurang memadai kebanyakan berkorelasi dari tingkat pendidikan dan
pengetahuan. BMT dituntut meningkatkan sumber daya melalui pendidikan formal
ataupun non formal, oleh karena kerjasama dengan lembaga pendidikan yang
mempunyai relevansi dengan hal ini tidak bisa diabaikan, misalnya kerjasama BMT
dengan lembaga-lembaga pendidikan atau bisnis islami.
2) Strategi
pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT untuk
mensosialisasikan produk-produk BMT di luar masyarakat di mana BMT itu berada.
Guna mengembangkan BMT maka upaya-upaya meningkatkan teknik pemasaran perlu
dilakukan, guna memperkenalkan eksistensi BMT di tengah-tengah masyarakat.
3) Perlunya
inovasi. Produk yang ditawarkan kepada masyarakat relatif tetap, dan kadangkala
BMT tidak mampu menangkap gejala-gejala ekonomi dan bisnis yang ada di
masyarakat. Hal ini timbul dari berbagai sebab; pertama, timbulnya
kekhawatiran tidak sesuai dengan syariah; kedua, memahami produk BMT
hanya seperti yang ada. Kebebasan dalam melakukan inovasi produk yang sesuai
dengan syariah diperlukan supaya BMT mampu tetap eksis di tengah-tengah
masyarakat.
4) Untuk
meningkatkan kualitas layanan BMT diperlukan pengetahuan strategis dalam bisnis
(Business Strategy). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan
profesionalisme BMT dalam bidang pelayanan. Isu-isu yang berkembang dalam
bidang ini biasanya adalah pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia,
pelayanan siap dana, dan sebagainya.
5) Pengembangan aspek
paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek bisnis islami sekaligus
meningkatkan muatan-muatan Islam dalam setiap perilaku pengelola dan karyawan
BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya.
6) Sesama BMT
sebagai partner dalam rangka mengentaskan ekonomi masyarakat, demikian
antar BMT dengan BPR Syariah ataupun bank syariah merupakan satu kesatuan yang
berkesinambungan yang antara satu dengan yang lainnya mempunyai tujuan untuk
menegakkan syariat Islam di dalam bidang ekonomi.
7) Perlu adanya
evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT atau lembaga sertifikasi BMT.
Lembaga ini bertujuan khusus untuk memberikan laporan peringkat kinerja
kwartalan atau tahunan BMT di seluruh Indonesia (Sudarsono, 2004 dalam
Habibah: 2008, 25).
h. Key Success
Factor BMT
1) Secara
operasional mampu melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara berkesinambungan,
yang dilandasi oleh kekuatan ruhiyah yang memadai dari pengurus dan
pengelolanya.
2) Adanya komitmen
dan ghirah yang tinggi dari pendiri dan pengelolanya, yang itu pun
berpangkal dari kesadaran ruhiyah yang cukup baik.
3) Didirikannya
BMT berorientasi pada landasan niat untuk beribadah pada Allah SWT melalui
penguatan ekonomi dan perbaikan kualitas kehidupan ummat.
4) Meluasnya
dukungan dari para aghniya’ dan tokoh-tokoh masyarakat setempat termasuk
perusahaan-perusahaan yang ada di sekitarnya.
5) Kemampuan
manajemen dan keterampilan teknis lembaga keuangan pengurus dan pengelolanya
yang didukung oleh pelatihan yang cukup dan lengkap meliputi teori, praktek dan
MMQ (metode memahami dan mengamalkan al-Qur’an).
6) Mampu
memelihara kepercayaan masyarakat yang tinggi melalui hubungan emosional yang
islami.
7) Pendiriannya
dilakukan sesuai dengan petunjuk yang antara lain tercermin dalam buku “Pedoman
Cara Pendirian BMT”.
8) Kemampuan
menghimpun dana dengan pendekatan-pendekatan islami dan manusiawi.
9) Berusaha secara
terus-menerus menjadi lembaga penyambung dan pemelihara ukhuwah islamiyah di
antara pengurus, pengelola, Pokusma (kelompok usaha muamalah), dan anggotanya
(Azis, 2008).
3. Manajemen
Manajemen berasal dari kata to manage yang
artinya mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan
urutan dari fungsi-fungsi manajemen. Jadi, manajemen itu merupakan suatu proses
untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan (Hasibuan, 2001: 1). Selanjutnya kata
manajemen (management) dapat mempunyai beberapa arti. Pertama sebagai
pengelolaan, pengendalian atau penanganan (managing). Kedua, perlakuan
secara terampil untuk menangani sesuatu berupa skillful treatment.
Ketiga, gabungan dari dua pengertian tersebut, yaitu yang berhubungan dengan
pengelolaan suatu perusahaan, rumah tangga atau suatu bentuk kerja sama dalam
mencapai suatu tujuan tertentu (Herujito, 2001: 1).
Sedangkan menurut G. R. Terry mengatakan bahwa management
is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and
controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use
of human being and other resources. Yang artinya, manajemen adalah suatu
proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan
serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya (Hasibuan, 2001: 2).
4. Pengertian Dana
Dana adalah
uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai, atau
aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai (Muhammad, 2005: 49).
a. Dana Dalam
Artian Kas
Sebagaimana dijelaskan oleh Riyanto (2002) dalam Hamidah
(2007: 14) kas merupakan unsur modal kerja yang dapat digunakan untuk menguasai
serta memiliki barang dan jasa apa saja yang diinginkan. Kas merupakan dana
dalam bentuk yang pasti dan tunai. Namun, harus tetap dijaga agar jumlah kas
tidak terlalu besar, sebab kas yang terlalu besar menunjukkan penggunaan dana
yang tidak efisien. Tetapi di lain pihak ada kewajiban bagi bank untuk
mempertahankan kas dalam jumlah tertentu agar dapat memenuhi kewajiban dan
kebutuhan finansial tepat pada waktunya.
b. Dana Dalam
Artian Modal Kerja
Modal kerja erat hubungannya dengan operasi koperasi
sehari-hari juga menunjukkan tingkat keamanan atau margin of safety para
kreditur terutama kreditur jangka pendek. Adapun modal kerja yang cukup sangat
penting bagi suatu koperasi karena dengan modal kerja yang cukup itu
memungkinkan bagi koperasi untuk beroperasi dengan seekonomis mungkin dan
koperasi tidak mengalami kesulitan atau menghadapi bahaya-bahaya yang mungkin
timbul karena adanya krisis atau kekacauan keuangan (Munawir, 2002 dalam
Hamidah, 2007: 15).
5. Manajemen Dana
a. Pengertian
Manajemen Dana
Manajemen dana bank adalah sebagai
suatu proses pengelolaan penghimpunan dana-dana masyarakat ke dalam bank dan
pengalokasian dana-dana tersebut bagi kepentingan bank dan masyarakat pada
umumnya serta pemupukannya secara optimal melalui penggerakan semua sumber daya
yang tersedia demi mencapai tingkat rentabilitas yang memadai sesuai dengan
batas ketentuan peraturan yang berlaku (Muhammad, 2005: 42).
b. Tujuan
Manajemen Dana
Pokok-pokok permasalahan manajemen
dana bank pada umumnya dan bank syariah pada khususnya adalah:
1) Berapa
memperoleh dana dan dalam bentuk apa dengan biaya yang relatif murah.
2) Berapa jumlah
dana yang dapat ditanamkan dan dalam bentuk apa untuk memperoleh pendapatan
yang optimal.
3) Berapa besarnya
dividen yang dibayarkan yang dapat memuaskan pemilik/pendiri dan laba ditahan
yang memadai untuk pertumbuhan bank syariah.
Dari permasalahan yang ada di atas,
maka manajemen dana mempunyai tujuan sebagai berikut:
1) Memperoleh profit
yang optimal.
2) Menyediakan
aktiva cair dan kas yang memadai.
3) Menyimpan
cadangan.
4) Mengelola
kegiatan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang
yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain.
5) Memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pembiayaan.
Dari tujuan-tujuan di atas, bila diamati akan didapat
kontradiksi antara tujuan yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, di satu sisi
bertujuan untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya, tentunya ini bisa
direalisasi dengan memberikan pembiayaan yang sebesar-besarnya, namun di sisi
lain kita juga harus menyediakan dana kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
segera dibayar, yang harus didukung oleh tersedianya dana yang memadai.
(Muhammad, 2005: 48)
c. Faktor Yang
Mempengaruhi Manajemen Dana BMT
Dalam menerapkan manajemen dana
banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik bersumber dari intern lembaga
keuangan itu sendiri ataupun dari eksternal (Muhammad, 2005: 44). Faktor-faktor
yang mempengaruhi manajemen dana BMT dapat dikelompokkan antara lain:
1) Kebijaksanaan-kebijaksanaan
moneter
Setiap muncul kebijaksanaan moneter yang baru, tidak
hanya bank tetapi juga BMT harus harus mengambil langkah-langkah penyesuaian
agar tidak melanggar peraturan atau ketinggalan di dalam percaturan keuangan
dan perekonomian pada umumnya. Pentingnya pada bankir mengikuti kebijaksanaan
moneter karena setiap kebijaksanaan tersebut mempunyai unsur-unsur yang perlu
dipahami oleh bank agar langkah-langkah yang diambil selalu seirama.
2) Lingkungan
Lingkungan BMT baik internal maupun eksternal akan
mempengaruhi gaya
manajemen dana yang digunakan.
3) Mobilisasi dana
Dana yang ada di dalam masyarakat sifatnya relatif
terbatas yang diperebutkan oleh perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Oleh karena itu berlaku hukum permintaan dan penawaran. Faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran dana antara lain:
a) Ketentuan
kewajiban pemeliharaan likuiditas (cash requirement ratio).
b) Jumlah ekspansi
uang primer dari bank sentral.
c) Selera
masyarakat untuk memilih bentuk simpanan yang diinginkan.
d) Tingkat
pendapatan per kapita.
e) Peraturan-peraturan
yang terkait pada masing-masing jenis dana.
4) Hubungan
peminjam dengan pemodal
Di dalam masyarakat terdapat dua pihak, yaitu mereka
yang mempunyai kelebihan uang (pemodal) dan di pihak lain yang mengalami
kekurangan uang (peminjam) untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. BMT yang
pada dasarnya adalah penghubung atau mediator antara pemodal dengan peminjam
berperan besar dalam hal menghubungkan dua kepentingan ini agar kedua pihak ini
mencapai tujuan atas kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
6. Sumber Dana
Salah satu
ruang lingkup kegiatan manajemen dana adalah aktivitas penghimpunan dana yang
nantinya berfungsi menjadi sumber dana bank (Mufiydah, 2006: 25). Agak sedikit
berbeda dengan bank, BMT tidak dapat memperoleh dana seluas-luasnya layaknya
dana yang dihimpun oleh perbankan.
Pertumbuhan
setiap BMT sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana
masyarakat, baik berskala kecil maupun besar, dengan masa pengendapan yang
memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah yang paling
utama. Tanpa dana yang cukup, lembaga keuangan tidak dapat berbuat apa-apa,
atau dengan kata lain, bank menjadi tidak berfungsi sama sekali (Muhammad,
2005: 49).
Pengertian
sumber dana bank adalah usaha bank dalam menghimpun dana dari masyarakat
(Kasmir, 2004: 45). Sedangkan menurut Siamat (1993) dalam Dendawijaya
(2005: 46), dana bank adalah uang tunai yang dimiliki bank ataupun aktiva
lancar yang dikuasai bank dan setiap waktu dapat diuangkan.
Dalam BMT
berbagai sumber dana dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis (Ridwan, 2004 dalam
Habibah, 2008: 15), yakni:
- Dana pihak kesatu
Dana pihak kesatu ini sangat diperlukan BMT terutama
pada saat pendirian. Dalam perbankan hal ini dikenal dengan istilah modal
disetor. Dana ini dapat terus dikembangkan, seiring dengan perkembangan BMT.
Sumber dana pihak kesatu ini dapat dikelompokkan menjadi:
1) Simpanan Pokok
Khusus (Modal Penyertaan)
Yaitu simpanan modal penyertaan, yang dapat dimiliki oleh individu
maupun lembaga dengan jumlah setiap penyimpanan tidak harus sama, dan jumlah
dana tidak mempengaruhi suara dalam rapat. Untuk memperbanyak jumlah simpanan
pokok khusus ini, BMT dapat menghubungi para aghniya maupun
lembaga-lembaga Islam. simpanan hanya dapat ditarik setelah jangka waktu 1
tahun melalui musyawarah tahunan. Atas simpanan ini, penyimpanan akan mendapat
porsi laba atau SHU pada setiap akhir tahun secara proporsional. Dengan jumlah
modalnya.
2) Simpanan Pokok
Simpanan pokok ialah yang harus dibayar saat menjadi anggota BMT.
Besarnya simpanan pokok harus sama. Pembayarannya dapat saja dicicil, supaya
dapat menjaring jumlah anggota yang lebih banyak. Sebagai bukti keanggotaan,
simpanan pokok tidak boleh ditarik selama menjadi anggota. Jika simpanan ini
ditarik, maka dengan sendirinya keanggotaannya dinyatakan berhenti.
3) Simpanan Wajib
Simpanan ini menjadi sumber modal yang mengalir terus setiap waktu.
Besar kecilnya sangat tergantung pada kebutuhan permodalan dan anggotanya.
Besarnya simpanan wajib setiap anggota sama, baik simpanan pokok maupun
simpanan wajib akan turut diperhitungkan dalam pembagian SHU.
4) Simpanan
Sukarela
Adalah simpanan yang dilakukan secara sukarela baik jumlahnya maupun
jangka waktunya.
5) Dana Cadangan
Yaitu bagian dari SHU (keuntungan) yang tidak dibagikan kepada anggota
yang dimaksudkan untuk menambah modal.
- Dana pihak kedua
Dana ini bersumber dari pinjaman pihak luar. Nilai
dana ini memang sangat tidak terbatas. Artinya tergantung pada kemampuan BMT
masing-masing, dalam menanamkan kepercayaan kepada calon investor. Pihak luar
yang dimaksud ialah mereka yang memiliki dana yang dikelola secara syariah.
Berbagai lembaga yang mungkin dijadikan mitra untuk meraih pembiayaan misalnya,
Bank Muamalat Indonesia, BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah dan
lembaga keuangan Islam lainnya.
- Dana pihak ketiga
Dana ini merupakan simpanan sukarela
atau tabungan dari para anggota BMT. Jumlah dan sumber ini sangat luas dan
tidak terbatas. Dana pihak ketiga inilah yang paling besar porsinya karena
berasal dari masyarakat luas.
Dilihat dari cara pengambilan sumber dananya, maka dapat
dibagi menjadi empat:
1)
Simpanan Lancar (Tabungan)
Adalah simpanan anggota kepada BMT yang dapat diambil
sewaktu-waktu (setiap saat). BMT tidak dapat menolak permohonan pengambilan
tabungan ini.
2)
Simpanan Tidak Lancar (Deposito)
Adalah simpanan anggota kepada BMT yang pengambilannya
hanya dapat dilakukan pada saat jatuh tempo.
3) Hibah
Yaitu pemberian dana dari pihak lain dan tidak ada kewajiban untuk
membayar kembali baik berupa pokok pemberian maupun jasa.
4) Dana Lain Yang
Tidak Mengikat
Berbagai sumber permodalan BMT tersebut semuanya sangat penting. Namun
untuk mendapatkan jumlah dana yang besar, maka pengembangan unsur modal
penyertaan perlu diperhatikan. Unsur ini dapat digunakan untuk menjaring para aghniya
baik individu maupun lembaga lainnya.
7. Penggunaan Dana
BMT
Penggunaan dana
BMT merupakan upaya menggunakan dana BMT untuk keperluan operasional yang dapat
mengakibatkan berkembangnya BMT atau sebaliknya, jika penggunaannya salah.
Pengalokasian
dana BMT ini harus selalu berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota. Manajemen akan selalu dihadapkan pada dua persoalan, yakni bagaimana
akan semaksimal mungkin mengalokasikan dana yang dapat memberikan pendapatan
maksimal pula dan tetap menjaga kondisi keuangan sehingga dapat memenuhi
kewajiban jangka pendeknya setiap saat. Dua kondisi ini dapat dicapai, jika
manajemen mampu bertindak sesuai dengan landasan BMT yang sebenarnya. Untuk
itu, pengalokasian dana BMT harus memperhatikan aspek (Ridwan, 2004 dalam Habibah,
2008: 19) sebagai berikut:
a. Aman, artinya
dana BMT dapat dijamin pengembaliannya.
b. Lancar, artinya
perputaran dana dapat berjalan dengan cepat.
c. Menghasilkan,
artinya pengalokasian dana harus dapat memberikan pendapatan maksimal.
d. Halal, artinya
pengalokasian dana BMT harus pada usaha yang halal baik dari tinjauan hukum
positif maupun agama.
e. Diutamakan
untuk pengembangan usaha ekonomi anggota.
Setelah dana
pihak ketiga (DPK) dikumpulkan, maka sesuai dengan fungsi intermediary-nya
maka lembaga keuangan berkewajiban menyalurkan dana tersebut untuk pembiayaan.
Dalam hal ini, BMT harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang
dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah
digariskan (Muhammad, 2005: 55). Alokasi dana ini mempunyai beberapa tujuan
yaitu:
- Mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko yang rendah.
- Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk mencapai kedua keinginan tersebut maka alokasi
dana-dana bank harus diarahkan sedemikian rupa agar pada saat diperlukan semua
kepentingan nasabah dapat terpenuhi.
Dalam
bukunya Dendawijaya (2005: 54) dijelaskan cara penempatan (alokasi) dana oleh
suatu bank umum dengan mempertimbangkan sumber dana yang diperolehnya terdiri
atas dua pendekatan yang masih banyak dipergunakan/dipilih oleh eksekutif bank
dan lembaga keuangan lainnya, yaitu:
a.
Pool of Fund Approach
Adalah
penempatan (alokasi) dana bank dengan tidak memperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan sumber dana, seperti sifat, jangka waktu, dan tingkat harga
perolehannya.
b.
Assets Allocation Approach
Adalah penempatan dana ke berbagai aktiva dengan
mencocokkan masing-masing sumber dana terhadap jenis alokasi dana yang sesuai
dengan sifat, jangka waktu, dan tingkat harga perolehan sumber dana tersebut.
Sedangkan menurut Arifin (2002) dalam Muhammad
(2005: 56-58) alokasi penggunaan dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi
dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
- Earning Assets (aktiva yang menghasilkan)
Aktiva yang dapat menghasilkan atau Earning Assets
adalah aset bank yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan. Aset ini
disalurkan dalam bentuk investasi yang terdiri atas:
1) Pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah)
2) Pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah)
3) Pembiayaan
berdasarkan prinsip jual beli (Al-Bai’)
4) Pembiayaan
berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah
Muntahiah bi Tamlik)
5) Surat-surat
berharga syariah dan investasi lainnya.
Pembiayaan merupakan fungsi bank
dalam menjalankan fungsi penggunaan dana. Dalam kaitan dengan perbankan maka
ini merupakan fungsi yang terpenting. Portofolio pembiayaan pada bank komersial
menempati porsi terbesar, pada umumnya sekitar 55% sampai 60% dari total
aktiva. Dari pembiayaan yang dikeluarkan atau disalurkan bank diharapkan dapat
memberikan hasil. Tingkat penghasilan dari pembiayaan (yield on financing)
merupakan tingkat penghasilan tertinggi bagi bank. Sesuai dengan karakteristik
dari sumber dananya, pada umumnya bank komersial memberikan pembiayaan
berjangka pendek dan menengah, meskipun beberapa jenis pembiayaan dapat
diberikan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Tingkat penghasilan dari
setiap jenis pembiayaan juga bervariasi, tergantung pada prinsip pembiayaan
yang digunakan dan sektor usaha yang dibiayai.
Di samping penggunaan dana untuk
pembiayaan, bagi bank syariah juga dapat mengalokasikan dananya untuk fungsi
investasi pada surat-surat berharga. Porsi terbesar berikutnya dari fungsi
penggunaan dana bank adalah berupa investasi pada surat-surat berharga. Selain
untuk tujuan memperoleh penghasilan, investasi pada surat berharga ini dilakukan sebagai salah
satu media pengelolaan likuiditas, di mana bank harus menginvestasikan dana
yang ada seoptimal mungkin, tetapi dapat dicairkan sewaktu-waktu bila bank
membutuhkan dengan tanpa atau sedikit sekali mengurangi nilainya. Tingkat
penghasilan dari investasi (yield on investment) pada surat berharga tersebut pada umumnya lebih
rendah daripada yield on financing.
- Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan), terdiri dari:
1) Aktiva dalam
bentuk tunai (cash assets)
Aktiva dalam bentuk tunai atau cash assets terdiri
dari uang tunai dalam vault, cadangan likuiditas (primary reserve)
yang harus dipelihara pada bank sentral, giro pada bank dan item-item tunai
lain yang masih dalam proses penagihan (collections). Dari aktiva tunai
ini bank tidak memperoleh penghasilan, dan kalaupun ada sangat kecil dan tidak
berarti. Namun demikian investasi pada cash assets adalah penting untuk
mendukung fungsi simpanan pada bank, dan dalam beberapa hal juga diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan layanan dari pihak koresponden yang berkaitan dengan
pembiayaan investasi.
Bank harus memelihara uang tunai dalam vault
yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Bank harus dapat memenuhi
kebutuhan para nasabah penyimpan dana yang ingin menarik dananya dalam bentuk
tunai, meskipun bank juga harus membatasi jumlah investasi dalam bentuk uang
tunai, karena bila terlalu banyak dapat mengurangi tingkat penghasilan bank.
Bank juga harus memelihara cash assets sebagai
cadangan (reserve) dalam bentuk rekening pada bank sentral. Biasanya
bank sentral menetapkan kewajiban ini berdasarkan jumlah dan tipe simpanan
nasabah bank. Bank menggunakan cadangan ini untuk memproses cek yang ditarik
melalui kliring. Bank juga memelihara saldo dalam jumlah tertentu pada bank
koresponden sebagai kompensasi atas servis yang diperoleh seperti cek kliring,
layanan yang berkaitan dengan proses pembiayaan, investasi dan partisipasi
dalam sindikasi pembiayaan. Saldo pada bank koresponden dapat juga digunakan
untuk memenuhi kebutuhan cadangan bagi bank yang tidak menjadi anggota lembaga
kliring.
2) Pinjaman (qard)
Pinjaman qard al hasan adalah merupakan salah
satu kegiatan bank syariah dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya sesuai
dengan ajaran Islam. untuk kegiatan ini bank tidak memperoleh penghasilan
karena bank dilarang untuk meminta imbalan apapun dari para penerima qard.
3) Penanaman Dana
dalam Aktiva Tetap dan Inventaris
Penanaman dana dalam bentuk ini juga tidak
menghasilkan pendapatan bagi lembaga keuangan manapun, tetapi merupakan
kebutuhan untuk menfasilitasi pelaksanaan fungsi kegiatannya. Fasilitas itu
terdiri dari bangunan gedung, kendaraan dan peralatan lainnya yang dipakai oleh
bank dalam rangka penyediaan layanan kepada nasabahnya.
Gambaran tentang pola penghimpunan dana dan
pengalokasiannya dapat dilakukan melalui pendekatan pusat pengumpulan dana (Pool
of Funds Approach) dan pendekatan alokasi aktiva (Assets allocation
Approach), sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Gambar 2.1
Sumber dan Penggunaan Dana Berdasarkan Pendekatan
Pusat Pengumpulan Dana (Pool of Funds Approach)
|
|
|
![]() |
|||||
![]() |
|||||
|
|||||
|
|||||

|
|
|


|
![]() |
||||||
|
||||||
![]() |
||||||
![]() |
||||||
|
||||||



|

|

|

![]() |
|||
|
|||
Sumber : (Arifin, 2002 dalam Muhammad, 2005:
59)
Gambar 2.2
Sumber dan Penggunaan Dana
Berdasarkan
Assets Allocation Approach
|







|
|
|
||||
![]() |
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
Sumber : (Arifin, 2002 dalam Muhammad, 2005:
60)
8. Arti Pentingnya
Analisa Sumber dan Penggunaan Dana
a. Untuk mengetahui laporan tahun lalu
b. Untuk proyeksi yang dimaksudkan
c. Untuk menilai kebijaksanaan dalam
penggunaan dan cara mendapatkan dana untuk
periode mendatang.
9. Tingkat
Kesehatan BMT
a. Pengertian
Tingkat Kesehatan BMT
Tingkat kesehatan BMT
merupakan suatu kondisi yang terlihat sebagai gambaran kinerja dan kualitas
BMT, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dapat mempengaruhi aktivitas BMT
serta pencapaian target-target BMT, untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Penilaian tingkat kesehatan BMT sangat bermanfaaat untuk memberikan gambaran
mengenai kondisi aktual BMT kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
bagi nasabah dan pengelola. selain itu, dengan mengetahui tingkat kesehatannya
akan membantu pihak-pihak tertentu dalam pengambilan keputusan sehingga
terhindar dari kesalahan pengambilan keputusan.
Beberapa faktor baik internal maupun
eksternal yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat
kesehatan BMT, yaitu:
1) faktor
SDM, kondisi BMT sangat dipengaruhi oleh kemampuan SDM dalam mengelola BMT.
2) Faktor sumber daya,
termasuk didalamnya adalah dana dan fasilitas kerja.
Sebuah BMT perlu diketahui tingkat
kesehatannya, karena BMT merupakan sebuah lembaga keuangan pendukung kegiatan
ekonomi rakyat (Hosen, 2008: 43). BMT yang sehat akan :
1) Aman
2) Dipercaya
3) Bermanfaat
Aspek kesehatan BMT dapat dilihat dari :
1) Aspek Jasadiyah, yang
meliputi
a) Kinerja keuangan
BMT mampu melakukan penggalangan, pengaturan,
penyaluran, dan penempatan dana dengan baik, teliti, hati-hati, cerdik, dan
benar, sehingga berlangsung kelancaran arus pendanaan dalam pengelolaan
kegiatan usaha BMT dan akan meningkatkan keuntungan secara berkelanjutan.
Kinerja keuangan ini dapat dinilai dari faktor CAMEL.
b) Kelembagaan dan manajemen
BMT memiliki kesiapan untuk melakukan operasinya
dilihat dari sisi kelengkapan legalitas, aturan-aturan, dan mekanisme
organisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan, SDM,
permodalan, sarana, dan prasarana kerja.
2) Aspek
Ruhiyah, yang meliputi :
a) Visi dan misi BMT
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh
anggotanya memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan visi dan misi BMT.
b) Kepekaan sosial
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh
anggotanya memiliki kepekaan yang tajam dan dalam, responsif, proaktif,
terhadap nasib para anggota dan nasib (kualitas hidup) warga masyarakat di
sekitar BMT tersebut.
c) Rasa memiliki yang kuat
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh
anggota serta masyarakat sekitar memiliki kepedulian untuk memelihara
keberlangsungan hidup BMT sebagai sarana ibadah.
d) Pelaksanaan prinsip-prinsip syariah
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh
anggota memberlakukan aturan dan implementasi operasional BMT sesuai dengan
syariah (Hosen, 2008: 44).
Dalam
melakukan penilaian terhadap tingkat
kesehatan BMT terdapat 5 aspek yang menjadi acuan
dasar penilaian. Dasar penilaian ini mengacu pada sistem penilaian kesehatan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang dikenal dengan istilah CAMEL (Capital
adequacy, Asset quality, Management of risk, Earning ability, dan Liquidity
sufficiency). Kelima aspek tersebut adalah modal, kualitas aktiva
produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas. Tidak banyak
berbeda dengan penilaian kesehatan perbankan, karena BMT juga merupakan lembaga
keuangan.
b. Pihak-pihak
Yang Membutuhkan Laporan Kesehatan BMT
Tingkat kesehatan suatu bank menjadi salah satu tolok ukur kinerja
keuangan bank yang sangat penting dewasa ini, karena dari hasil penilaian ini
akan dapat diketahui performance pemilik dan profesionalisme pengelola
bank tersebut (Riyadi, 2006: 175).
Begitu pula sama halnya dengan BMT. Terdapat beberapa pihak yang sangat
membutuhkan hasil penilaian tingkat kesehatan BMT yaitu:
1) Pengelola BMT
Yang dimaksud
dengan pengelola di sini adalah Pemilik, Pengurus, pengawas dan Manajer
pengelola BMT sangat berkepentingan terhadap penilaian tingkat kesehatan BMT
yang dikelolanya, berdasarkan hasil penilaian tersebut dapat diketahui letak
kekurangan/kelemahan yang dihadapi BMT, sehingga dapat diambil kebijakan yang
dapat mempertahankan tingkat kesehatan bank yang telah dicapainya atau
meningkatkan tingkat kesehatannya.
2) Masyarakat
Pengguna Jasa BMT/Anggota
Dalam kondisi
perekonomian yang belum stabil, ditambah penegakan hukum yang belum dapat
berjalan dan kondisi sosial politik yang mudah berubah maka Hasil Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dapat dijadikan acuan bagi para pemilik dana untuk
menyimpan uangnya pada BMT yang memiliki kondisi “Sehat”. Karena hal ini akan
memberikan jaminan bahwa dalam waktu tertentu dana yang disimpan pada BMT
tersebut akan aman.
3) Lembaga
Keuangan Lain
Dalam hal ini
lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada BMT perlu untuk mengetahui
tingkat kesehatan BMT. Sehingga lembaga keuangan mengetahui bahwa dana tersebut
mampu dikelola dengan baik oleh pihak BMT.
c. Predikat
Tingkat Kesehatan BMT
Kondisi tingkat
kesehatan BMT saat ini dikelompokkan menjadi 4 predikat (Riyadi, 2006: 176),
yaitu:
1)
Sehat
2)
Cukup Sehat
3)
Kurang Sehat
4)
Tidak Sehat
d. Faktor
Penilaian CAMEL
Berikut ini merupakan faktor-faktor penentu tingkat kesehatan BMT yang
rumusnya tak jauh beda dengan perhitungan pada perbankan, adalah sebagai
berikut:
1) Capital
Modal merupakan hal terpenting dalam memulai dan
menjalankan suatu usaha apa saja. Kekurangan modal merupakan gejala umum yang
dialami lembaga keuangan di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut
dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang jumlahnya
kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Rasio
yang digunakan untuk menilai aspek permodalan pada BMT adalah dengan metode CAR
(Capital Adequacy Ratio) dan perhitungannya sebagai berikut :
CAR = Modal x 100%
Total Asset
2) Assets
Aset merupakan total aktiva yang dimiliki oleh BMT selama periode
tertentu. Penilaian kualitas asset pada BMT tidaklah serumit penilaian aset
pada perbankan. Untuk menilai kualitas aset pada BMT dapat digunakan rumus
sebagai berikut:
Aktiva = Laba Bersih x 100%
Total Aktiva Produktif
3) Management
Untuk menilai manajemen suatu BMT terdapat beberapa
pertanyaan/pernyataan yang menyangkut tentang manajemen permodalan, aktiva,
pengelolaan, rentabilitas dan likuiditas. Namun pernyataan tersebut tidaklah
sebanyak pernyataan yang ada pada perbankan.
4) Earning
Earning (rentabilitas)
diartikan sebagai rasio untuk mengetahui kemampuan BMT dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas
manajemen dalam menjalankan operasionalnya. Terdapat 3 cara penilaian laba pada
BMT, yaitu:
a) Rasio SHU
sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional.
Earning 1 = SHU sebelum pajak x 100%
Pendapatan Operasional
b) Rasio SHU
sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap total asset.
Earning 2 = SHU sebelum pajak x 100%
Total Asset
c) Rasio Biaya
Operasional dalam 12 bulan terakhir terhadap Pendapatan Operasional dalam
periode yang sama.
BOPO = Biaya Operasional x 100%
Pendapatan
Operasional
5) Liquidity
a) Rasio Lancar (Cash
Ratio)
Rasio lancar dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan hutang lancar.
Rasio ini menunjukkan besarnya kas yang dipunyai suatu lembaga ditambah
aset-aset yang bisa berubah menjadi kas dalam waktu satu tahun, relatif
terhadap besarnya hutang-hutang yang jatuh tempo dalam jangka waktu tidak lebih
dari satu tahun (Hanafi, 2005: 212).
Cash Ratio = Hutang Lancar x 100%
Aktiva Lancar
Yang dimaksud alat likuid adalah kas dan penanaman pada bank lain dalam
bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank.
Sedangkan hutang lancar adalah meliputi kewajiban segera, tabungan dan
deposito.
b) Loan to Deposit
Ratio (LDR)
LDR mempunyai pengertian sebagai alat likuid untuk mengukur seberapa
jauh kemampuan perusahaan dalam membayar semua dana masyarakat dengan
mengandalkan pembiayaan yang didistribusikan kepada masyarakat. Besarnya LDR
menurut peraturan pemerintah maksimum adalah 110% (Kasmir, 2001: 272).
LDR = Total Pembiayaan x 100%
Total DPK
e. Hasil Penilaian
Hasil penilaian kesehatan BMT dapat dilihat dari perhitungan data-data
laporan keuangan menurut aspek CAMEL, yang juga meliputi kriteria sebagai
berikut:
1) “Sehat”
2) “Cukup Sehat”
3) “Kurang Sehat”
4) “Tidak Sehat”
Hanya saja dalam penilaian tingkat kesehatan BMT tidak ditetapkan adanya
nilai kredit layaknya penilaian tingkat kesehatan perbankan.
C. Manajemen dalam
Perspektif Islam
Islam
mewajibkan para penguasa dan pengusaha untuk berbuat adil, jujur dan amanah
demi terciptanya kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatan
thayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah),
keadilan sosial-ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan spiritual umat manusia.
Sebagaimana tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang
mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda
mereka (Arifin, 2002: 96).
Harta benda di sini tidak dapat mengantarkan tujuan
ini, kecuali bila dialokasikan dan didistribusikan secara merata. Hal ini
menuntut penyertaan kriteria moral tertentu dalam menikmati harta benda,
operasi pasar dan politbiro. Apabila harta benda menjadi tujuan itu sendiri,
maka akan mengakibatkan ketidakmerataan, ketidakseimbangan dan perusakan lingkungan
yang pada akhirnya akan mengurangi kebahagiaan anggota masyarakat di masa
sekarang maupun bagi generasi mendatang. Al-Qur’an telah memerintahkan agar supaya harta dapat
diratakan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya, sebagaimana firman-Nya:
ös1 w
tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/
Ïä!$uÏYøîF{$#
öNä3ZÏB
4
ÇÐÈ
“...Supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr: 7).
Untuk itu para
penguasa dan pengusaha harus menjalankan manajemen yang baik dan sehat.
Manajemen yang baik harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan
(Conditio sine qua non) demi mencapai hasil tugas yang baik. Oleh karena
itu para penguasa atau pengusaha wajib mempelajari ilmu manajemen. Apalagi bila
prinsip atau teknik manajemen itu terdapat atau diisyaratkan dalam Al-Qur’an
atau hadits.
Manajemen
selalu terdapat dan sangat penting untuk mengatur semua kegiatan dalam rumah
tangga, sekolah, yayasan, pemerintahan, dan lain sebagainya. Manajemen
menetapkan tujuan dan usaha untuk mewujudkan dengan memanfaatkan 6M (men,
materials, machines, methods, money, and markets) dalam proses manajemen
tersebut. Dengan manajemen yang baik maka pembinaan kerja sama akan serasi dan
harmonis, saling menghormati dan mencintai, sehingga tujuan optimal akan tercapai.
Begitu pentingnya peranan manajemen dalam kehidupan manusia mengharuskan kita
mempelajari, menghayati, dan menerapkannya demi hari esok yang lebih baik
(Hasibuan, 2001: 4). Hal tersebut telah ditegaskan dalam ajaran Islam
sebagaimana firman Allah swt dalam surat
Ash-Shaff ayat 4 yang berbunyi:
¨¨bÎ) ©!$# =Ïtä úïÏ%©!$# cqè=ÏG»s)ã Îû ¾Ï&Î#Î6y $yÿ|¹ Oßg¯Rr(x. Ö`»u÷Yç/ ÒÉqß¹ö¨B ÇÍÈ
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS as-Shaff: 4).
Islam telah menegaskan tentang kebaikan dalam mengatur
segala sesuatu yang dilakukan. Sehingga
diharapkan dengan adanya manajemen ini, organisasi (perusahaan) dapat berjalan
dengan baik dan lancar kepada tujuan yang telah ditetapkan. Dan perusahaan pun
mampu survive dalam rentang waktu yang berkepanjangan.
D.
|
![]() |
Manajemen dana
merupakan sistem yang mengatur tentang pengelolaan sumber dan pengalokasian
dana. Manajemen dana di sini berhubungan sebagai upaya peningkatan kesehatan
BMT, dari segi aspek jasadiyah dan aspek ruhiyah. Untuk aspek jasadiyah
menggunakan faktor-faktor CAMEL, sedangkan untuk aspek ruhiyah ditinjau dari
visi dan misi, kepekaan sosial, rasa memiliki yang kuat, serta komitmen pada
prinsip syariah.
BAB III
METODE
PENELITIAN
Metode adalah
suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis (Wirartha, 2006: 69). Adapun penelitian adalah suatu
kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis masalah untuk
memperoleh fakta-fakta dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk
memperoleh pemecahan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Metode
penelitian mencakup alat dan prosedur penelitian.
A. Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Koperasi BMT Maslahah
Mursalah Lil Ummah Jl. Raya Sidogiri No. 09 Sidogiri Kraton Pasuruan 67151.
B. Jenis dan
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu penelitian yang
menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan
kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci
(Indriantoro dan Supomo, 1999: 12).
C. Data dan Sumber
Data
Sumber data penelitian merupakan
faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data. Sumber data penelitian terdiri atas: sumber data primer dan sumber data sekunder. (Indriantoro dan Supomo, 1999: 146)
Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder juga. Yang
mana data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer secara
khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data
primer dapat berupa opini subyek (orang) secara individual atau kelompok, hasil
observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil
pengujian. Sedangkan data sekunder merupakan sumber data penelitian yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan
dan yang tidak dipublikasikan (Indriantoro dan Supomo, 1999: 146-147).
D. Teknik
Pengumpulan Data
Terdapat dua
hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas
instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data (Sugiyono, 2005: 129).
Pengumpulan data merupakan bagian dari proses pengujian data yang berkaitan
dengan sumber dan cara untuk memperoleh data penelitian. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini di antaranya:
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan
pencatatan (Soemitro, 1985 dalam Subagyo, 2004: 63). Observasi sebagai
alat pengumpul data dapat dilakukan secara spontan dapat pula dengan daftar
isian yang telah disiapkan sebelumnya. Peneliti di sini melakukan observasi
secara non partisipatif, yaitu peneliti tidak melibatkan diri dalam aktivitas
objek yang diteliti, pengamatan dilakukan secara sepintas pada saat tertentu
(Subagyo, 2004: 66). Dalam hal ini peneliti melakukan observasi pada aktivitas
dan budaya kerja Para karyawan BMT-MMU.
2. Dokumentasi
Metode penelitian yang umumnya menggunakan data sekunder adalah
penelitian arsip atau metode dokumentasi. Data dokumenter adalah jenis data
penelitian yang antara lain berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil
rapat, memo, atau dalam bentuk laporan program (Indriantoro dan Supomo, 1999:
146). Dalam hal ini dokumen yang diteliti yaitu laporan keuangan pada tahun
buku 2006-2008.
3. Wawancara (Interview)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden
yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil (Sugiyono, 2005:
130). Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer.
Wawancara di sini dilakukan secara tidak terstruktur, adalah wawancara
yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman
wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan (Sugiyono, 2005: 132). Peneliti melakukan wawancara dengan
pihak-pihak terkait di antaranya yaitu kepada staf manajer, bagian pendanaan,
Staf Divisi BMT, dan sebagainya.
Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti adalah di antaranya:
a. Apa saja yang
dapat dilakukan oleh pihak BMT MMU dalam menghimpun dana pihak ketiga?
b. Dana yang telah
terhimpun tersebut dialokasikan pada bidang-bidang apa saja?
c. Bagaimana pihak
BMT dalam memegang kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat?
d. Apa saja
faktor-faktor yang menunjang keberhasilan BMT-MMU dalam menghimpun dana?
e. Apakah dengan
manajemen dana yang baik akan menghasilkan tingkat kesehatan bank yang baik
pula?
E. Instrumen
Pengumpulan Data
Tabel 3.1
Jenis dan Instrumen Pengumpulan data
NO
|
Jenis Data
|
IPD
|
Objek/Informan
|
Data BMT-MMU
|
|||
1
|
Manajemen Penghimpunan Dana
|
Dokumentasi, Wawancara
|
Dokumen, Manajer, Kadiv. BMT
|
2
|
Manajemen Penyaluran Dana
|
Dokumentasi, Wawancara
|
Dokumen, Manajer, Kadiv. BMT
|
3
|
Laporan Keuangan
|
Dokumentasi
|
Dokumen
|
4
|
Penilaian Kesehatan BMT
|
Dokumentasi
|
Dokumen
|
|
a.
Aspek Jasadiyah (Analisis CAMEL):
1)
Capital
2)
Assets
3)
Management
4)
Earning
5)
Liquidity
|
Dokumentasi
Dokumentasi
Wawancara
Dokumentasi
Dokumentasi
|
Dokumen
Dokumen
Kadiv. BMT
Dokumen
Dokumen
|
|
b.
Aspek Ruhiyah:
1)
Visi & Misi
2)
Kepekaan sosial
3)
Kepemilikan Yang Kuat
4)
Komitmen Pada Prinsip Syariah
|
Dokumentasi, Wawancara
Observasi, Wawancara
Observasi, Wawancara
Observasi, Wawancara
|
Dokumen, Manajer BMT.
Pengurus, Pengawas, Pengelola.
Pengurus, Pengawas, Pengelola.
Pengurus, Pengawas, Pengelola.
|
F. Model Analisis
Data
Analisis data
merupakan bagian dari proses pengujian data yang hasilnya digunakan sebagai
bukti yang memadai untuk menarik kesimpulan penelitian (Indriantoro dan Supomo, 1999: 11). Analisis data dapat dilakukan
setelah memperoleh data-data yang dibutuhkan, baik dengan teknik observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Kemudian data-data tersebut diolah dan dianalisis
untuk mencapai tujuan akhir penelitian.
Model analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis
kualitatif dalam hal ini dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian
dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk
mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga
memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan
sebaliknya (Subagyo, 2004: 106). Analisis data ini digunakan untuk menganalisis
manajemen dana dan tingkat kesehatan BMT-MMU, baik dari aspek Jasadiyah maupun
aspek Ruhiyah selama kurun waktu 3 tahun terakhir.
Berikut ini
adalah tahapan-tahapan analisis data yang dilakukan oleh peneliti:
1. Peneliti
mengumpulkan data yang diperoleh dari penelitian, baik itu data primer maupun
data sekunder. Maksudnya adalah untuk mengklasifikasikan data-data yang relevan
dengan tujuan penelitian.
2. Melakukan
pemilihan data yang saling berhubungan. Hal ini ditujukan untuk mengetahui
bagaimana manajemen pengelolaan dana berpengaruh terhadap tingkat kesehatan
BMT-MMU, baik dari segi aspek Jasadiyah maupun aspek Ruhiyah. Sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam penggunaan data yang dianalisis.
3. Melakukan
penafsiran data, yaitu tentang manajemen dana yang ditinjau dari sumber dana
dan pengalokasiannya, dan juga tentang tingkat kesehatan BMT-MMU, baik dari
segi aspek Jasadiyah maupun Ruhiyah. Kemudian merelevansikannya sesuai dengan
teori-teori yang terkait.
4. Dan terakhir,
peneliti menarik suatu kesimpulan dan memberikan saran-saran untuk perbaikan
selanjutnya.
BAB IV
PAPARAN DAN
PEMBAHASAN DATA HASIL PENELITIAN
A. Paparan Data
Hasil Penelitian
1. Sejarah
Berdirinya BMT MMU
Di tengah badai
krisis ekonomi dan moneter yang merontokkan lembaga-lembaga keuangan yang
berbasis pada ribawi, lembaga keuangan yang berbasis pada syariah terhindar
dari krisis. Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia
(berdiri tahun 1992) lolos dari krisis tanpa perlu mendapat Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).
Kalangan
perbankan yang mKLIK INI UNTUK MEMBACA SELENGKAPNYA
0 Komentar