PERANAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN DALAM MENANGGULANGI KESULITAN BELAJAR SISWA
A. Latar Belakang Masalah
Agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur
segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Salah
satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni
pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Hukum waris yaitu segala
jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang,
tanah dan sebagainya.[1]
Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal
171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.[2]
Tata
cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.[3] Pembagian
masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada
ketentuannya dalam Alquran.
Firman Allah swt:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ
وَالأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ
وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوكَثُرَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا (النساء : 7 )
Artinya:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7)[4]
Dalam syariat Islam telah
ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari pada bagian perempuan,
yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan.
Firman Allah swt:
يُوصِيْبُكُمُ اللهُ فِيْ اَولاَدِكُمْ لِلذَّكَرِمثل حَظِّ
الاُنْثَيَيْنِ ...(النساء : 11 )
Artinya:
Allah mensyari’atkan bagi mu
tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan dua orang anak
perempuan…(An- Nisa: 11)[5]
Allah swt menjanjikan surga
bagi orang-orang yang beriman yang mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta
warisan dan ancaman siksa bagi mereka yang mengingkari-Nya.
Firman Allah swt:
تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ وَمَنْ يُّطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
يُدخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَذٰلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ . وَمَنْ يَّعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَتَعَدَّ
حُدُوْدَهُ يُدخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ . (النساء
: 13-14)
Artinya:
(Hukum-hukum) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya,
sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang
besar. Dan barang siapa yang menudurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa:
13-14).[6]
Ayat di atas dengan jelas menunjukkan perintah dari Allah
swt, agar umat Islam dalam melaksanakan pembagian harta warisan berdasarkan
hukum yang ada dalam Alquran. Rasulullah saw. mempertegas lagi dengan sabdanya:
عن ا بن عبا س : قا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا قسموا
ا لما ل بين اهل الفرائض على كتا ب الله (رواه مسلم [7].(
Artinya:
Dari Ibnu Abbas berkata: bersabda
Rasulullah saw. Bagilah harta warisan di antara ahli waris sesuai dengan
ketentuan kitabullah. (HR. Muslim).[8]
Bagi
umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan
merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan, karena itu merupakan bentuk
manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Pembagian
harta warisan dapat juga dilakukan dengan cara bagi rata, artinya masing-masing
ahli waris mendapat bagian yang sama dari harta warisan tanpa memandang apakah
ahli warisnya itu laki-laki atau perempuan dengan jalan berdamai berdasarkan
kesepakatan bersama antara ahli waris sebagaimana disebutkan pada ketentuan Pasal
183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah
masing-masing menyadari bagiannya.[9] Pada Masyarakat
Dayak muslim khususnya yang berada di Kecamatan Loksado Kabupaten HSS (Hulu Sungai
Selatan) dalam pembagian harta warisan, sebagian masyarakatnya ada yang
menggunakan pembagian harta warisan dengan cara bagi rata antara ahli waris
berdasarkan perdamaian (musyawarah) yang dikenal dengan islah, tetapi
dengan cara tersebut malah lebih sering menimbulkan masalah dibanding dengan
yang dilakukan sebagaimana dengan ketentuan hukum faraidh, dan
permasalahannya tersebut sangat berakibat bagi keturunan (keluarga) karna
dengan adanya permasalahan ini ahli waris yang awalnya sepakat ternyata
akhirnya mengingkari akan pembagian harta warisan tersebut maka timbullah rasa
kecemburuan di antara ahli waris. Sehingga rengganglah rasa kekeluargaan yang
mereka miliki.
Melihat adanya praktik yang
demikian pada sebagian Masyarakat Dayak muslim yang ada di Kecamatan Loksado
Kabupaten HSS dalam pembagian harta warisan, karna mengigat sifat Masyarakat
Dayak tersebut menganut sistem kekeluargaan maka penulis tertarik melekukan
penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: PRAKTIK PEMBAGIAN
HARTA WARISAN (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT DAYAK DI DESA LOKSADO KECAMATAN
LOKSADO KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN).
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan serta terarahnya penelitian
ini, maka dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana praktik pembagian harta
warisan pada Masyarakat Dayak muslim di Desa Loksado Kecamatan Loksado
Kabupaten HSS?
2.
Apa alasan Masyarakat Dayak di
Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS dalam pembagian harta warisan?
3.
Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang
praktik pembagian harta warisan Masyarakat Dayak Muslim di Desa Loksado
Kecamatan Loksado Kabupaten HSS?
C. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, maka penulis ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui praktik pembagian harta
warisan Masyarakat Dayak muslim di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten
HSS.
2.
Mengetahui alasan Masyarakat Dayak
Desa Loksado Kecematan Loksado Kabupaten HSS dalam pembagian harta warisan.
3.
Mengetahui tinjauan Hukum Islam
tentang praktik pembagian harta warisan Masyarakat Dayak di Desa Loksado
Kecamatan Loksado Kabupaten HSS.
D. Signifikansi
Penelitian
Penelitian
yang dilakukan ini diharapkan dapat berguna sebagai:
1.
Bahan informasi tentang praktik
pembagian harta warisan Masyarakat Dayak muslim di Desa Loksado Kecamatan Loksado
Kabupaten HSS.
2.
Bahan informasi bagi peneliti
selanjutnya yang berkeinginan meneliti lebih jauh masalah ini dari sudut
pandang yang berbeda.
3.
Sumbangan pemikiran dalam rangka
menambah khazanah di bidang hukum Islam pada Perpustakaan IAIN Antasari
Banjarmasin.
E. Batasan Operasional
Untuk
menghindari kesalahpahaman pengertian terhadap judul ini, maka diberi batasan
operasional sebagai berikut:
1.
Yang dimaksud praktik pembagian
harta warisan adalah cara-cara atau metode-metode yang digunakan dalam
pembagian harta warisan.
2.
Yang dimaksud Dayak adalah nama
salah satu suku asli kalimantan, yang terdiri dari berbagai anak suku dan
mendiami daerah-daerah pedalaman,[10] kemudian Dayak
muslim adalah masyarakatnya tersebut sudah beragama Islam yang mendiami Desa
Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS.
3.
Yang dimaksud pembagian harta
warisan adalah pelaksanaan membagi-bagikan harta warisan kepada masing-masing
ahli waris yang berhak menerimanya.
F. Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam lima bab, sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan, berisikan latar belakang
masalah, tujuan penelitian, rumusan masalah, signifikansi penelitian, batasan
oprasional, dan sistematika penulisan.
Bab II Ketentuan hukum kewarisan, berisikan
pengertian kewarisan, dasar hukum kewarisan, rukun dan syarat kewarisan,
sebab-sebab kewarisan, pembagian warisan menurut Alquran dan pembagian warisan
menurut Kompilasi Hukum Islam.
Bab III Metode Penelitian, berisikan jenis,
sifat dan lokasi penelitian, subyek dan
obyek penelitian data dan sumber data, teknik pengolahan dan analisis data,
serta prosedur penelitian.
Bab IV Laporan
hasil penelitian, berisikan gambaran umum lokasi penelitian, penyajian data,
dan analisis data
Bab V Penutup,
berisikan simpulan dan saran-saran.
G. Kajian
pustaka
Berdasarkan penelaahan
terhadap penelitian terdahulu yang penulis lakukan, berkaitan dengan masalah
waris, maka ditemukan penelitian sebelumnya yang juga mencari tentang
permasalahan waris, namun demikian ditemukan, subtansi yang berbeda dengan
persoalan yang penulis angkat dalam penelitian dimaksud. "Pelaksanaan
Hibah dan Warisan Pada Masyarakat Suku Tidung di Kel. Selumit Kec. Tarakan
Tengah Kalimantan Timur (Ditinjau Dari Hukum Islam)". Oleh Ahmad Ade
Sulaiman (Nim. 8501110003). "Reformulasi Hukum Kewarisan Dalam KHI".
Oleh Khairiati (Nim. 8501110053). "Fitnah Sebagai Penghalang Kewarisan
(Studi Pasal 173 Huruf Dapat Kompilasi Hukum Islam)". Oleh Marhamah (Nim.
9311110861). "Pembagian Harta Warisan Orang Yang Mafqud/Hilang (Problematika
dan Penyelesaianya)". Oleh Subehan (Nim. 9411110875). "Persepsi
Masyarakat Tentang Penyamaan Pembagian Warisan Di Kecamatan Martapura".
Oleh Wasilah (Nim. 9411116464). "Problematika Penyelesaian Utang Pawaris
Yang Diketahui Setelah Harta Warisan Dibagikan Kepada Ahli Waris di Kecamatan.
Haruyan Kab HST", Oleh Syahdan Noor (Nim.9411118465). "Penyelesaian
Putusan Perkara Waris di Pengadilan", Oleh Syarifudin, (Nim. 9411118501).
"Studi Komperatif Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif Tentang Pembagian
Warisan Anak Dalam Kandungan", Oleh Noriyana (Nim. 9411118555).
"Pembatalan Pembagian Secara Islah Oleh Ahli Waris Asabah di Kota
Madya Banjarmasin". Oleh Muhammad
Fitriannoor (Nim. 9411119479). "Pandangan Masyarakat Terhadap Asabah Dalam
Kewarisan di Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong". Oleh Syaiful Rahman (Nim
9501110125). "Hijab Mahjub Dalam Kewarisan Menurut Dan Hukum Perdata
(Sebuah Studi Perbandingan)". Oleh Fitriah (Nim 9501110055).
"Kewarisan Cucu Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Komperatif Antara Penalaran
Syafi'i dan Hazarin)". Oleh Juhdinor (Nim 9601110041). "Tradisi
Memberikan Harta Warisan Yang Berupa Pakaian Oleh Salah Seorang Ahli Waris
Kepada Orang Lain di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar". Oleh Maliana (Nim
9601110956). "Pemikiran Munawir Sadjali Tentang Rektualisasi Hukum
Kewarisan Islam Terhadap Porsi Anak Laki-Laki dan Perempuan". Oleh Abu
Bakar (Nim 9601110968). "Sengketa Harta Warisan Anak Hasil Perkawinan
Sembunyi di Kota Banjarmasin". Oleh M. Samsul Rijal (Nim 9601110979).
"Pembebanan Utang Kepada Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
Barat (BW)". Oleh Henny Yuianti
(Nim 9601110996). Penentuan Pembagian Harta Warisan Menurut Tingkatan
Usia di Kecamatan Astambul". Oleh H. Anwar (Nim 9601111031). "Pembagian
Harta Warisan Yang Diperoleh Dari Santunan Asuransi Jiwa di Kecamatan Dusun
Selatan Kabupaten Barito Selatan". Oleh Arzakiyah (Nim 9601111041).
"Konsep Islah Waris (Studi Hukum Islam dan Hukum Adat
Banjar)". Oleh Abdul Hafizd Sairazi (Nim 9701111835). "Konsep 'Walad'
Dalam Konteks Kewarisan Saudara". Budi Rahmat Hakim (Nim 9701111842).
"Kewarisan Berdasarkan Asabah dan Hubungannya Dari Aspek Kekerabatan
(Kajian Pandangan Antara Fikih Sunni Dan Fikih Syafi'i". Oleh Fahilah (Nim
9701111849). "Hak Waris Ayah Varsi Kompilasi Hukum Islam Tinjauan Ilmu Faraidh
Terhadap Pasal 177 KHI)". Oleh Firiyadi (Nim 9701111851). "Pembagian
Harta Warisan Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas". Oleh Norbaiti (Nim
9701111872). "Persepsi Ulama Terhadap Pertangguhan Utang Pewaris".
Oleh Khirullah (Nim 9701111913). "Persepsi Istri Pertama Terhadap Harta
Warisan Anak Hasil Hasil Perkawinan Sembunyi di Kec Tanta Kab Tabalong".
Oleh Rabiatul Adawiyah (Nim 9701222287). "Kedudukan Ahli Waris Pengganti
Menurut Persepsi Ulama di Kec Banjarmasin Timur Kota Banjarmasin" Oleh Bariah
(Nim 9801112316). "Praktik Pengucilan Terhadap Asabah Oleh Ahli Waris Yang
Lain Dalam Pembagian Harta Warisan di Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota
Banjarmasin" Oleh Haris Fadilah (Nim 9801112323). Variasi Pembagian Harta
Warisan Secara Islah di Kecamatan Banjarmasin Timur Kota
Banjarmasin". Oleh Herry Muliyadi (Nim 9801112325). ”Masalah Hak Mewaris
Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkatnya (Tinjauan Terhadap
Putusan Mahkamah Agung RI No.3832/K/PDT/1985". Oleh Nurul Hikmah (Nim 9801112335).
"Pilihan Hukum Di Bidang Kewarisan Pada Pengadilan Agama". Oleh
Agustian Raihani (Nim. 9901112878). "Penyelesaian Perkara Ahli Waris
Pengganti di Pengadilan Agama Banjarmasin dan Pengadilan Agama Martapura".
Oleh Muriyani Astuti (Nim. 9901112912). "Ijtihad Umar Bin Khattab Tentang
Musyawarah Dalam Waris Islam". Oleh Norhadi (Nim 9901112916).
"Persepsi Masyarakat Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Tentang Anak Zina dan Hubungan Dengan Kewarisan Yang Diperolehnya". Oleh
Norhafifah (Nim. 9901112917). "Analisis Terhadap Gugatan Warisan Putusan
PA Banjarmasin No 520/PDT.G/1992/PA,BJM, PTA Banjarmasin, MA No 75.K/Agama
Islam/1995". Oleh Anden Reza (Nim. 9901112883). "Kewarisan Anak
Diluar Nikah Menurut KUH Perdata (Ditinjau Menurut Hukum Islam)". Oleh Aliannor
(Nim. 9601111003). "Praktik Penguasan Istri Muda Terhadap Harta Warisan
Peninggalan Suaminya Di Kec Amuntai Utara Kab Hulu Sungai Utara" Oleh Heri
Ahmadi (Nim. 9901112901). "Saudara Perempuan Kandung Bersama Kakek Dalam
Kewarisan". Oleh Mahmudah (Nim 0001113580). "Sikap Ahli Waris
Terhadap Harta Warisan Orang Hilang Pasca Kerusuhan di Kab Kota Waringin
Timur". Oleh Muhammad Abror (Nim.9901112907). "Persepsi Hakim Tentang
Hak Warisan Akibat Cerai Dibawah Tangan di Pengadilan Agama Martapura"
Oleh Siti Raudhah (Nim. 0101114282). "Harta Warisan Yang Dibagi-bagikan di
Kecamatan Kapuas Timur Kabupaten Kuala Kapuas". Oleh Kasmah (Nim.
0101114296). "Praktik Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Urutan Nasab
Dalam Keluarga Di Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten Barito Utara Kalimantan
Tengah" Oleh Samsul Bahri (Nim 0001113604). "Persepsi Hakim Tinggi
Pada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Tinggi Negeri Banjarmasin Tentang
Hak Opsi Dalam Perkara Kewarisan". Oleh Misna (Nim. 0001113585).
"Praktik Penguasan Harta Warisan Orang Tuanya Oleh Anak Perempuan di
Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong". Oleh Ratmi (Nim. 0101114329).
"Masalah Munasakhah Dalam Praktik Kewarisan Pada Masyarakat Kecamatan Juai
Kabupaten Balangan". Oleh Rafi'ah A.S (Nim. 0201115051). "Penguasaan
Harta Warisan Oleh Orang Tua Angkatnya di Kec Lahi Kab Barito Utara". Oleh
Ade Norhalis (Nim. 0101114271).
"Praktik Pengabaian Terhadap Asabah Oleh Ahli Waris Yang Lain Dalam
Pembagian Harta Warisan di Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjar Baru". Oleh
Linny Apriani (Nim. 0201115039). "Waris Beda Agama" Oleh Azhar
Redhanie (Nim 0001113562). "Persepsi Ulama Kabupatan Hulu Sungai Utara
Terhadap Pembagian Harta Warisan Secara Bagi Sama" Oleh Yanti (Nim
0001113610). "Kewarisan Ibu Dari Anaknya Yang Menjadi PNS Menurut Persepsi
Ulama Banjarmasin". Oleh Lisnawati (Nim 0101114298). "Proses
Penyelesaian Kewarisan Mati Bersama Di Kabupaten Tanah Laut". Oleh
Kairilisa (Nim 0201114995). "Sengketa Waris Poligami Di Kabupaten Banjar".
Oleh H. Rahmad Fadilah (Nim 0301115701).
Bardasarkan dengan hal
tersebut di atas, permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini
adalah menitikberatkan pada "Praktik Pembagian Harta Warisan (Studi Kasus
Pada Masyarakat Dayak Di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai
Selatan)". Dengan demikian terdapat permasalahan yang sangat berbeda
antara penelitian-penelitian orang lain yang penulis kemukakan di atas dan
persoalan yang penulis teliti.
KLIK INI UNTUK MEMBACA SELENGKAPNYA
Pengolahan OLAH SKRIPSI Penelitian, Pengolahan DAFTAR CONTOH SKRIPSI
Statistik, Olah SKRIPSI SARJANA, JASA Pengolahan SKRISPI LENGKAP Statistik, Jasa Pengolahan SKRIPSI EKONOMI
Skripsi, Jasa Pengolahan SPSS CONTOH SKRIPSI , Analisis JASA SKRIPSI BAB II
KETENTUAN UMUM HUKUM KEWARISAN
A. Pengertian Kewarisan
Ungkapan yang dipergunakan dalam Alquran untuk menunjukkan adanya kewarisan dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-irst, al-fara'idh, dan al-tirkah . Al-irst (الاررث) dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (مصدر) dari kata waritsa (ورث ), yaritsu (يرث) irtsan (ارثا) melainkan termasuk juga kata wirtsan (ورثا ), turatsan (تراثا), dan wiratsan (وراثة ). Kata-kata itu berasal dari waritsa (ورث ), yang berakar dari fara'id adalah jama' dari faridhah, dan faridhah diambil dari kata fard yang berarti taqdir. Fard dalam isrilah syara' adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris dan mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (ilmu mirats) dan ilmu fara'idh. Fara'idh dalam istilah kewarisan dikhususkan untuk; suatu bagian yang ahli waris telah ditentukan besar kecilnya oleh syara'. Adapun kata al-tirkah (التركة) dalam bahasa Arab juga berbentuk masdar dari kata tunggal taraka (ترك) yang mengandung makna dasar; membiarkan, menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama, dan harta peninggalan.
Dari uraian di atas maka dapat ditegaskan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan harta peninggalan dari yang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup, menentukan bagian-bagian ahli waris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris serta pemindahan hak tersebut tanpa melalui aqad terlebih dahulu.
B. Dasar Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. sunggguh pun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli hukum Islam itu sendiri.
Dasar-Dasar Hukum Kewarisan:
1 Alquran.
Alquran menjelaskan ketentuan-ketentuan faraidh ini jelas sekali. Allah swt berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 7 yang berbunyi:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوكَثُرَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا (النساء : 7 )
Artinya:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7)
2 Al-Hadis.
Al-hadis, antara lain hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a:
عن ا بن عبا س : قا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا قسموا
ا لما ل بين اهل الفرائض على كتا ب الله (رواه مسلم .(
Artinya:
Dari Ibnu Abbas berkata: bersabda Rasulullah saw. Bagilah harta warisan di antara ahli waris sesuai dengan ketentuan kitabullah. (HR. Muslim).
3 Al-ijma dan ijtihad
Ijma dan ijtihad para sahabat, imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemacahan-pemacahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih, misalnya:
a. Status saudara-saudara yang mewarisi sama-sama dengan kakek. Dalam Alquran hal ini tidak dijelaskan, yang dijelaskan adalah status saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam dua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran hijab kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan. Menurut kebanyakan pendapat sahabat dan imam-imam mazhab yang mengutup pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.
b. Status cucu yang ayahnya lebih dulu mati dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah. Menurut ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab undang-undang Wasiat Mesir yang mengistinbatkan dari ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.
C. Rukun dan Syarat-Syarat Kewarisan
Sebagai salah satu hukum yang dirumuskan dalam ajaran Islam, maka Hukum Waris Islam mempunyai Rukun dan Syarat yang harus terpenuhi untuk terlaksananya hukum tersebut.
1 Rukun Kewarisan
Rukun Kewarisan ada tiga:
a. Pewaris (al-muwarris), yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan, baik ia dinyatakan mati secara hakiki (mati sebenarnya) maupun mati secara hukmi (mati atas putusan hakim) atau juga mati secara taqdiri (dugaan keras bahwa ia telah mati).
b. Harta warisan (al-mauruts), adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia (pewaris) setelah diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia berhutang kepada orang lain sejumlah harta.
c. Ahli Waris (al-warits) secara definitif dapat dijabarkan dengan pemahaman tentang sejumlah orang yang mempunyai hubungan sebab-sebab dapat menerima warisan harta atau perpindahan harta dari orang yang meninggal tanpa terhalang secara hukum untuk memperolehnya.
2 Syarat kewarisan
Pusaka mempusakai itu adalah berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkan. Pengertian tersebuat tidak sekali-kali terjadi bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh atas harta yang dimilikinya atau orang bakal diganti kedudukanya tidak berwujud pada saat penggantian terjadi, atau juga tidak di antara keduanya terdapat hal-hal yang menurut sifatnya menjadi penghalang. Oleh karna itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan:
a. Matinya Pewaris
Seseorang diketehui sebagai pewaris apabila ia telah mati. Kematiannya dapat diketahui secara pasti melalui informasi yang didukung oleh fakta atau mungkin melalui proses hukum, apabila alternatif ini tidak dapat dipenuhi, maka calon pewaris masih dinyatakan hidupnya.
Kematian pewaris menurut ulama dibedakan kepada tiga macam:
1. Mati haqiqi, yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawanya berwujud ada, kematian ini dapat dibuktikan dan disaksikan oleh panca indra.
2. Mati hukmi, yakni suatu kematian yang disebabkan adanya vonis hakim, baik pada hakekatnya seseorang yang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh, adalah seorang yang murtad yang divonis mati kerena ia telah lari menggabungkan diri dengan musuhnya. Vonis mengharuskan demikian karena menurut syari'at, selama tiga hari ia tidak bertaubat maka ia harus dibunuh. Contoh lain, adalah vonis kematian seseorang pada hal kemungkinan ia masih hidup, yakni vonis kematian orang yang mafqud (hilang).
3. Mati takdiri, ialah suatu kematian yang bukan hakiki dan bukan hukmi. Tetapi hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, misalnya kematian seseorang bayi yang harus dilahirkan akibat terjadinya pemukulan pada perut ibunya, atau pemaksaan agar ibunya meminum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata dugaan keras sebab dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun keras jugalah perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.
b. Hidupnya Ahli Waris Disaat Kematian Pewaris
Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian pewaris berhak mewarisi harta peninggalannya. Kedua syarat pusaka mempusakai sebagaimana diterangkan di atas menimbulkan problem-problem antara lain pusaka mafqud, pusaka anak dalam kandungan, pusaka orang yang mati berbarengan. Problem ini harus dipecahkan karena adanya keraguan tentang atau matinya mereka disaat kematian orang yang mewariskan.
c. Tidak Ada Penghalang-Penghalang Kewarisan.
Walaupun kedua syarat tersebut di atas telah ada pada pewaris dan ahli waris, namun salah satu dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalanya kepada yang lain atau mewarisi harta peninggal dari yang lain selama masih terdapat dari salah satu empat penghalang kewarisan, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan negara. Adapun yang dimaksud penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai.
1) Sebab Membunuh Pewaris
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menyebabkan tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang diwarisinya. Hanya ulama golongan Khawarij saja yang menantang pendapat ini. Alasan mereka Alquran tidak mengecualikan si pembunuh, ayat mewaris hanya memberikan petunjuk umum, oleh karena itu keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan. Dasar hukum seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuhnya adalah sebuah Hadis Rasulullah saw. yang berbunyi:
حدثناقتيبة حدثنا الليث عن اسحاق بن عبدالله عن الزهري عن حميد بن عبد الرحمن عن ابى هريره عن النبى صل الله عليه وسلم قال : القا تل لايرث.
Artinya:
Qutaibah menceritakan kepada kami, Al Laits memberitahukan kepada kami, dari Ishaq bin Abdillah dari Az Zuhri dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bersabda:"Pembunuh itu tidak dapat mewarisi".(HR. Tarmuzi).
Yang menjadi persoalan di sini adalah banyaknya jenis dan macam pembunuhan, yang mana yang menjadi penghalang pembunuh untuk mewarisi harta peninggalan korbanya.
Menurut mazhab Hanafi, pembunuhan yang dapat menggugurkan hak seseorang memperoleh harta warisan adalah pembunuhan yang disengaja ('amdan), pembunuhan yang menyerupai disengaja (syibhu'amdin), dan pembunuh karena salah sasaran (khatha'). Mereka berpegang pada kaidah, "Setiap pembunuh yang mewajibkan kaffarat menggugurkan hak kewarisan. Jika tidak mewajibkan kaffarat maka tidak menggugurkan hak kewarisannya".
Mazhab Maliki berpendapat, pembunuh yang menjadi menggugurkan hak kewarisan adalah pembunuh yang disengaja saja. Sedang yang lainnya tidak menggugurkan hak kewarisan.
Menurut mazhab Hambali, setiap pembunuh yang dibalas dengan hukuman qishash, diyar, (tebusan) atau kaffarat menggugurkan hak kewarisan. Jika tidak, maka tidak menggugurkan hak kewarisan.
Ulama pendukung Syafi'iyah berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan menggugurkan hak kewarisan termasuk persaksian yang menyebabkan dijatuhkanya hukuman mati atas seseorang (pewaris).
2) Sebab Berlainan Agama
Yang dimaksud dengan berlainan agama ialah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya agama orang yang bakal mewariskan bukan Islam, baik agama Nasrani maupun agama Atheis yang tidak mengakui agama yang hak, sedang agama orang yang bakal diwarisi harta peninggalanya adalah Islam. Tidak termasuk dalam mengenai perbedaan mazhab satu dengan mazhab lainnya. Dengan demikian orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.
Dasar hukumnya adalah hadis Nabi saw riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
حدثنا ابوعاصم عن بن جريج عن ابن شهاب عن على بن حسين عن عمر بن عثمان عن عسا مة بن زيدرض الله عنهما ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا يرث المسلم الكا فر ولايرث الكا فر المسلم .
Artinya :
Abu Asim telah menceritakan kepada kami, dari ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Umar bin Utsman dari Usman bin Zaid, sesungguhnya Nabi saw bersabda: orang Islam tidak mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi (harta) orang muslim. (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain juga menyebutkan:
حدثنا حميد بن مسعد ة حدثنا حصين بن نمير عن بن ابب ليلى عن البب الزبير عن خابر عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا يتوارث اهل ملتين ...
Artinya :
Humaid bin Masadah menceritakan kepada kami, Hushain bin Numair memberitahukan kepada kami. Dari Ibnu Abi Laili dari Abiz-zubair dari Nabi saw bersabda: "Para pemeluk dua agama yang berbeda tidak saling mewarisi". (HR-Tarmizi).
Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ahli waris dan pewaris berbeda agama pada saat pewaris meninggal, kerena pada saat itu lah hak warisan berlaku.
3) Sebab Perbudakan (Wala)
Budak atau hamba sahaya tidak memperoleh pembagian harta yang ditiggalkan oleh salah seorang kerabatnya yang wafat. Karena, jika ia memperolehnya maka akan diambil oleh tuannya yang nota-bene merupakan orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang wafat.
Hamba sahaya tersebut, baik ia qinnun (budak biasa), mudabbar (budak yang dijanjikan merdeka sesudah tuanya wafat), mapun mukatab (budak yang akan dimerdekakan oleh tuannya dengan syarat membayar uang dalam jumlah tertentu). Misalnya hamba sahaya yang mukatab ini adalah seperti tuanya berkata kepadanya, "Jika engkau membayar seribu dirham kepadaku, maka engkau merdeka”. Sebagaimana difirmankan Allah swt:
( )
Artinya:
"Hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka". (S. [24] An-Nuur: 33).
Demikian juga hamba sahaya yang dijanjikan akan dimerdekakan oleh tuannya dengan suatu syarat, seperti ucapan tuannya, "Jika istriku melahirkan anak laki-laki, maka engkau saya merdekakan". Dengan demikian, segala macam jenis budak dapat menjadi penghalang kewarisan. Sebagaimana hamba sahaya tidak dapat mewarisi, maka demikian juga ia tidak dapat diwarisi, karena ia tidak mempunyai harta.
4) Sebab Berlainan Negara
Adapun berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila di antara ahli waris dan pewarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda kriterianya. Namun menurut Jumhur ulama antara pewaris dan ahli waris yang sama-sama muslim yang berbeda negara tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi. Hal ini dapat dilihat pada kitab Undang-undang Mesir Pasal 6 ayat 3 dan 4 yang berbunyi: Perbedaan dua buah negara tidak menghalangi pusaka mempusakai antara orang-orang muslim. Dan tidak menghalangi pusaka mempuakai antara orang yang bukan muslim. Kecuali bila peraturan negara asing melarang warga negara asing (yang lain) mempusakai dari padanya.
D. Sebab-sebab kewarisan
Sebab-sebab kewarisan dalam hukum Islam ada tiga macam: yakni sebab perkawinan, sebab kekerabatan (nasab), dan sebab memerdekakan budak (wala'). Namun ada yang mengatakan empat macam, yakni selain tiga di atas, mereka menambahkan sebab sesama Islam.
1. Sebab perkawinan
Hubungan perkawinan adalah suami istri yang saling mewarisi, karena mereka melakukan akad perkawinan yang sah. Perkawinan baru dikatakan sah, apabila nikah yang telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan serta bebas dari halangan perkawinan.
Dengan demikian suami istri dapat menjadi ahli waris dari istrinya begitu juga sebalikanya. Walaupun suami istri tersebut belum melakukan hubungan suami isrti (watha), asal nikah mereka sah mereka dapat mewarisi. Dalilnya adalah surah An-Nisa ayat 12. Pewarisan karena hubungan akan tetap berlaku, sepanjang suami istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran, yakni ia masih dalam talak raj'i dan ahli waris antara keduanya masih ada.
2. Sebab keturunan dan nasab
Adanya kata nasab ini ditimbulkan karena adanya perkawinan atau merupakan kelanjutan dari adanya hubungan perkawinan. Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud nasab di sini adalah nasab haqiqi, yakni kerabat yang sebenarnya. Sebab Sayid sabiq menyebut sebab wala dengan sebab nasab secara hukmi.
Sah hubungan nasab, bukan saja kerena telah terjadi akad perkawinan, akan tetapi harus pula terjadi akan hubungan biologis antara suami istri. Meskipun begitu bisa juga tanpa terjadinya hubungan biologis dari suami istri tersebut.
Hubungan nasab atau kekerabatan, yang lebih berhak menerima warisan adalah kerabat yang lebih dekat dengan pewaris, tanpa ada yang menghijab. Hubungan kekerabatan dengan ini selain dapat disebabkan oleh unsur kelahiran, juga melalui alat bukti pengakuan.
3. Sebab memerdekakan budak (wala)
Adapun yang dimaksud mewarisi dengan sebab hubungan wala' adalah seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budak.
Kewarisan dengan sebab wala' syaratnya masih hidupnya bekas tuan, telah wafatnya budak yang telah dimerdekakan dan ada harta yang ditinggalkan oleh budak itu. Jadi bekas tuan adalah ahli waris dari bekas budaknya dan dapat berkedudukan sebagai asabah apabila ia telah memiliki keturunan. Dasar hukumnya adalah surah an-Nisa ayat 33:
• (النساء : 33)
Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatnya, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah kepada mereka bahagiannya, sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(An-Nisa: 33)
Demikian juga ditegaskan dalam hadits Nabi saw:
حر ثنا اسمعيل بن عبدالله قال : حدثني مالك عن نافع عن ابن عمر عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما ولاء لمن اعثق.
Artinya:
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw. Bersabda: Hak wala itu hanya bagi orang memerdekakan. (HR.Bukhari)
Kata " انما" dalam hadit di atas merupakan alat pembatas, sehingga hadit tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada wala' kecuali untuk orang yang membebaskan saja.
4. Sebab sesama Islam
Sebab keislaman ini merupakan pendapat ulama Syafi'iyah dan ulama Malikiyah. Sebab sesama Islam ini berlaku jika seseorang muslim meninggal tidak mempunyai ahli waris sama sekali atau mempunyai ahli waris tetapi harta warisanya tidak habis dibagi. Maka peninggalan tersebut harus diserahkan ke Kas Perbendaharaan Negara untuk diwarisi orang-orang Islam secara 'ushubah. Jadi penyetoran ke Kas Pembendaharaan Negara tersebut bukan berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi atas dasar pusaka mempusakai secara 'ushubah.
E. Pembagian Warisan Menurut Alquran (Furudl Muqaddarah)
Al-Furudl Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan syara' bagi ahli waris dalam pembagian harta warisan. Berdasarkan beberapa delil baik dalam Alquran maupun Hadis Nabi Muhammad saw dapatlah diketahuai bahwa al-furudl muqaddarah itu ada 6 macam, yaitu: 2/3;1/2;1/4;1/8;1/3;dan1/6.
Menurut Alquran surah An-Nisa ayat 11,12, dan 176 adalah ahli waris yang mendapat saham tertentu berjumlah (9) sembilan orang, dengan perincian sebagai berikut;
1. Surah An-Nisa ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan, ayah, dan ibu.
2. Pada surah An-Nisa ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.
3. Pada surah An-Nisa ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan sekandung dan seayah.
Adapun Bagian Ashabul Furudh yang berjumlah sembilan orang yang telah ditentukan dalam Alquran adalah sebagai berikut:
a) Bagian anak perempuan
Dalam Surah An-Nisa ayat 11 dinyatakan:
... ...(النساء:11).
Artinya:
...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta...(An-Nisa ayat 11).
Menurut Mufassirin, ayat ini menghendaki bahwa seorang anak perempuan bagiannya setengah. Akan tetapi berbeda pendapat tentang kata فوق اثنتين apakah dua orang atau tiga orang ke atas yang berhak mendapat bagaian duapertiga (2/3). Al-Maraghi menginformasikan bahwa jumhur ulama menafsirkan kata فوق اثنتين dengan dua anak perempuan.
b) Bagian ayah dan ibu
Surah An-Nisa ayat 11 menyatakan:
... • • ....(الساء: 11)
Artinya:
...Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingmya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibu menapat sepertiga (1/3) ;jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam...(an Nisa: 11).
Dari ayat tersebut dapat diketahui, ayah dan ibu masing-masing mendapat seperenam apabila ada anak, akan tetapi apabila tidak ada anak, dan ahli warisnya ibu bapaknya saja, maka ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk ayah.
c) Saham saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Dalam surah An-Nisa ayat 12 yang berbunyi:
... • ...(انساء: 12)
Artinya:
...jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu....(an-Nisa: 12).
Ayat di atas dapat dipahami, bahwa saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat bagian seperenam apabila ia sendiri. Akan tetapi apabila dua orang atau lebih saudara laki-laki seibu, ia mendapat sepertiga. Demikian dua orang atau lebih saudara perempuan seibu mendapat sepertiga. Apabila seorang saudara laki-laki seibu bersama-sama seorang saudara perempuan seibu mereka membagi 2:1 dari bagian 1/3.
Menurut al-Maragy, saham yang sama antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu karena keduanya menggantikan kedudukan ibu, konsekuensinya ia mendapat saham sasuai dengan saham ibu.
d) Saham saudara perempuan sekandung
Saham saudara perempuan sekandung dapat dipahami dari surah An-Nisa ayat 176 yang berbunyi:
... ...(الساء:176)
Artinya:
.....jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu sendiri) dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian dari saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan. (An-Nisa: 176).
Penjelasan ayat ini adalah apabila seorang saudara perempuan maka bagiannya 1/2. Akan tetapi apabila bersama-sama dengan saudara laki-laki maka bagiannya adalah 2 : 1.
e) Bagian saudara perempuan seayah
Dasar hukum saudara perempuan kandung seayah menjadi ahli waris adalah sama dengan saudara perempuan sekandung, yaitu surah An-Nisa ayat 176.
Dengan demikian bagianya juga sama. Kecuali menurut Rasyid ridha, apabila saudara perempuan sekandung, maka saudara perempuan seayah mendapat 1/6 sebagai pelengkap 2/3.
f) Bagian suami istri
Hal ini ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 12. Dalam surat tersebut dikatakan, suami mendapat bagian 1/2 apabila tidak ada anak, jika ada anak suami mendapat bagian 1/4 jika tidak ada anak, dan jika ada maka anak istri mendapat 1/8.
Dalam pembahasan Furudul Muqaddarah disebutkan juga ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan apabila tidak terhijab, baik laki-laki maupun perempuan yang berjumlah tujuh belas (17) orang. Sepuluh (10) di antaranya adalah laki-laki dan tujuh (7) orang perempuan.
Ahli waris laki-laki terdiri dari anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah, ayah, kakek terus ke atas, saudara laki-laki, anak saudara laki-laki, paman, anak paman, suami, orang yang memerdekakan budak. Sedang ahli waris perempuan ialah; anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek, saudara perempuan, istri, orang perempuan yang memerdekakan budak.
Jika ketujuh belas ahli waris itu ada, dalam hal pembagian harta warisan, maka yang berhak menerima warisan hanya lima orang, yakni; ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri. Hal ini disebabkan karena kelima ahli waris tersebut yang paling dekat dengan pewaris dan ahli waris tersebut tidak bisa terhijab dengan hijab hirman. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis, Sifat, dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat studi kasus (case study), dengan lokasi di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS.
Lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat Masyarakat Dayak yang sudah beragama Islam dan belum pernah dilakukan penelitian dengan topik ini.
B. Subyek Dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah masyarakat Dayak di Desa Loksado tersebut yang sudah beragama Islam yang ditetapkan sebagai responden. Sedangkan obyek penelitian ini adalah tentang praktik pembagian harta warisan yang dilakukan Masyarakat Dayak yang beragama Islam tersebut.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang digali dalam penelitian ini meliputi: data tentang praktik pembagian harta warisan Masyarakat Dayak Muslim di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS, kesadaran hukum Masyarakat Dayak Muslim di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS dalam pembagian harta warisan, tinjauan hukum Islam tentang praktik pembagian harta warisan Masyarakat Dayak di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS.
Kemudian juga data yang berkaitan dengan gambaran umum lokasi penelitian, jumlah penduduk, keadaan pendidikan, dan pekerjaan masyarakat di Desa Loksado Kecamatan Loksado Kabupaten HSS.
2. Sumber Data
a) Responden, yaitu para ahli waris yang telah melakukan penyimpangan di dalam melakukan pembagian harta warisan dari ketentuan faraidh.
b) Informan, yakni kepala desa dan tokoh masyarakat setempat yang dapat memberikan informasi dalam penelitian ini.
c) Dokumen, yaitu berkas-berkas atau catatan yang berhubungan dengan obyek yang akan di teliti
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menggali data di lapangan digunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1. Wawancara, yakni tanya jawab langsung dengan responden dan informan.
2. Dokumentasi, yaitu melakukan cek kearsipan dan surat menyurat yang berhubungan dengan data yang akan diteliti.
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
a) Editing, yaitu meneliti kembali data yang terkumpul untuk mengetahui kelengkapan dan kekurangannya yang perlu diperbaiki dan disempurnakan.
b) Kategorisasi, yaitu mengelompokkan data yang telah diperoleh menurut macamnya ke dalam katagori tertentu.
c) Interpretasi, yaitu menafsirkan data yang diperoleh untuk dijelaskan.
2. Analisis Data.
Selanjutnya penulis menyatakan analisis data yang diuraikan sesuai dengan yang telah diharapkan, analisis data ini disusun dalam bentuk pembahasan yang bertolak pada teori-teori hukum islam yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti secara diskriptif kualitatif.
F. Prosedur Penelitian
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini, maka penulis menyusun prosedur penelitian melalui tahapan sebagai berikut:
1. Tahap pendahuluan, yakni melakukan penjajakan awal ke lokasi penelitian, kemudian berkonsultasi dengan pembimbing, dan mengajukan proposal ke Fakultas.
2. Tahap persiapan, yakni setelah proposal diterima, melaksanakan seminar, membuat surat untuk melakukan penelitian dan mempersiapkan kelengkapan lainnya untuk pengumpulan data.
3. Tahap pelaksanaan, yakni menyampaikan surat riset kepada pejabat yang terkait dengan penelitian ini, melaksanakan wawancara dengan informan, mencari catatan atau berkas-berkas yang berhubungan dengan data, mengumpulkan data, mengolah serta menganalisis data.
4. Tahap penyusunan laporan, yakni melakukan penyusunan laporan hasil peneltian ke dalam bentuk skripsi, melakukan konsultasi dengan pembimbing untuk koreksi dan perbaikan seperlunya dan selanjutnya siap untuk dimunaqasyahkan. BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data.
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka diperoleh sejumlah data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Sejumlah data tersebut telah di kumpulkan dengan melalui beberapa teknik sebagaimana diutarakan pada bab sebelumnya (Bab III).
Penulis melakukan penelitian terhadap 5 keluarga yang melakukan pembagian harta warisan yaitu kerluarga AC, BB, CD, DB, dan EE, dengan uraian sebagai berikut:
1. Kasus Pertama
- Identitas Responden
Nama : AC
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Desa Loksado RT.03 NO.12 Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
AC adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara yaitu, dua orang saudara laki-laki (AA, AB) dan satu orang saudara perempuan (AD). Keluarga ini melakukan pembagian warisan setelah suami mereka meninggal, yaitu pada tahun 2002. Harta warisan yang ditinggalkan berupa: rumah tempat tinggal beserta tanahnya, tiga petak tanah dan uang sejumlah Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Pembagian harta warisan ini disepakati dengan dihadiri dan diatur oleh tokoh adat, yaitu pembakal setempat. Keluarga ini tidak mengerti dengan hukum faraidh (tata cara pembagian harta warisan menurut hukum Islam), sehingga cara membagi warisan ini disepakati dengan musyawarah (bagi rata) di antara semua ahli waris dengan pembagian berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, akan tetapi dalam pembagian ini istri tidak mendapatkan bagian apa-apa, sebab berdasarkan kesepakatan di antara ahli waris, bahwa semua keperluan istri menjadi tanggung jawab bersama. Dengan pembagian harta warisan anak perempuan (AD) mendapat uang Rp 10.000.000, dan masing-masing (AA,AB, dan AC) mendapat satu petak tanah dengan cara pembagian menilai dengan uang kemudian membayar bagi yang ingin memiliki secara penuh, rumah tidak dibagi dengan alasan serumah dengan istri dan dapat merawatnya.
2. Kasus Kedua
- Identitas Responden
Nama : BB
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Desa Loksado RT.03 NO.25 Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
BB anak kedua dari lima orang bersaudara, saudara-saudara BB tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Saudara yang laki-laki adalah, BA, BC, dan BE, sedangkan yang perempuan ialah BD. Orang tua mereka (suami) meninggal pada tahun 2001.
Keluarga ini sepakat melakukan pembagian harta warisan setelah suami mereka wafat dengan cara musyawarah, keluarga ini tidak mengenal tata cara pembagian warisan dengan hukun faraidh, oleh sebab itu mereka membagi warisan dengan cara musyawarah berdasarkan kesepakatan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dalam musyawarah ini istri lebih dominan dalam memberikan pendapat, sedangkan anak mengikuti apa yang disarankan ibu(istri).
Harta yang ditinggalkan al-marhum berupa rumah dan tanahnya, satu buah kendaraan, tanah empat petak dan uang sebesar Rp1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah). Dari hasil musyawarah disepakati bahwa saudara perempuan yang terakhir yaitu BD mendapatkan bagian lebih banyak dari ahli waris yang lain. Hal ini karena BD telah memelihara al-marhum selama sakit selama 6 (enam) bulan hingga meninggal dunia. Sedangkan saudara-saudara yang lain mendapatkan bagian yang sama banyaknya yaitu dibagi rata.
Dari hasil pembagian tersebut BD mendapatkan kendaraan, uang sebesar Rp 1.500.000 dan rumah serta tanahnya dengan syarat BD yang tinggal serumah bersama ibu(istri), harus terus menemani dan merawat ibu(istri) selama hidup ataupun ketika sakit nanti. Harta warisan yang lain yaitu, empat petak tanah dibagi rata antara istri, BA, BB, BC dan BE, pembagian dengan cara menilai dengan uang kemudian membayar bagi yang ingin memiliki secara penuh.
Dikemudian hari timbul masalah, di antara anak ada yang konplin yaitu BA dan BC, mereka tidak terima dengan cara pembagian yang telah dilaksanakan. Hal ini karena mereka mengetahui bahwa dalam hukum Islam anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak perempuan. Ketidak setujuan ini sering disampaikan kepada saudara-saudara yang lain dan mengajak mereka untuk melakukan pembagian ulang berdasarkan hukum Islam.
Keinginan BA dan BC untuk melakukan pembagian ulang tidak disetujui oleh saudara yang lain terutama ibu(istri), menurut mereka tidak perlu lagi dilakukan pembagian ulang karena ketika pembagian dilakukan telah disetujui oleh semua keluarga termasuk BA dan BC dan pembagian ini telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat.
Permasalahan ini menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga, saling tidak enak dan sering terjadi percekcokan, karena BA dan BC merasa dirugikan dari hasil pembagian ini.
3. Kasus Ketiga
- Identitas Responden
Nama : CD
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Desa Loksado RT.01 NO.09 Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai +Selatan.
Keluarga CD melakukan pembagian harta warisan pada tahun 2003 setelah suami mereka meninggal. Para ahli waris yaitu istri, empat orang anak laki-laki yaitu CA, CD, CE dan CG, serta tiga orang anak perempuan yaitu CB, CS, dan CF. Harta warisan yang ditinggalkan oleh ahli waris adalah rumah serta tanahnya, empat petak tanah dan uang sejumlah Rp 2.000.000 (dua juta rupiah).
Pembagian ini disepakati dengan cara musyawarah yang dipimpin oleh istri. Dari hasil musyawarah di sepakati terdapat harta perpantangan, yaitu harta yang diberikan kepada seseorang yang dekat dengan al-marhum sewaktu hidupnya dan banyak membantu dalam keluarga, dalam hal ini yang mendapatkan harta perpantangan tersebut adalah CH (saudara istri).
Dari hasil pembagian empat orang anak laki-laki CA, CD, CE dan CG mendapatkan tiga petak tanah, tiga orang anak perempuan CB, CS, dan CF mendapatkan uang Rp 2.000.000 (dua juta rupiah), serta satu petak tanah dan istri mendapat rumah serta tanahnya, sedangkan untuk paman yang mendapat harta perpantangan dengan diberikan sejumlah uang sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) yang dikumpulkan dari harta warisan ketika harta warisan ditaksir dengan uang sebelum harta warisan dibagi kepada masing-masing ahli waris.
4. Kasus Keempat
- Identitas Responden
Nama : DB
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Desa Loksado RT.03 NO.60 Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
DB mempunayai keluarga dengan dua orang saudara laki-laki (DA dan DF) serta dua orang saudara perempuan yaitu (DC dan DE). Salah satu dari mereka ada yang tidak beragama Islam yaitu DA yang beragama Kristen, sedangkan saudara yang lainnya beragama Islam.
Pada tahun 2000 suami mereka meninggal dunia karena sakit, kemudian mereka melakukan pembagian warisan, dengan harta warisan yang ditinggalkan al-marhum berupa, rumah tempat tinggal beserta tanahnya, lima petak tanah, dan uang Rp 2.000.000 (dua juta rupiah).
Pembagian harta warisan ini berdasarkan musyawarah antara ahli waris, sebagaimana kebiasaan dalam masyarakat, setelah musyawarah dihasilkan bahwa berdasarkan kesepakatan harta warisan dibagi rata kepada semua ahli waris (anak-anak dan istri) termasuk anak yang beragama Kristen.
Hasil pembagian ini istri mendapatkan rumah serta tanahnya, lima petak tanah diberikan kepada lima orang dari anak laki-laki atau anak perempuan (ke semua anaknya), dengan cara pembagian menilai dengan uang kemudian membayar bagi yang ingin memiliki secara penuh.
5. Kasus Kelima
- Identitas Responden
Nama : FG
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SR
Alamat : Desa Loksado RT.03 NO.35 Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Isteri FG meninggal pada tahun 1999, dan meninggalkan tiga orang anak laki-laki yaitu EA, EB, ED dan dua orang anak perempuan yaitu EC dan EF. Harta yang ditinggalkan berupa: rumah dan tanahnya, enam petak tanah dan uang sebesar Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Setelah Istri FG meninggal, FG tidak ingin membagi harta warisan, karena ia merasa sanggup untuk membantu ekonomi keluaga, dan menurutnya semua anaknya terbantu dengan dirinya yang bisa mengelola semua harta dan sebagian anaknya masih kecil yaitu ED dan EF yang masih bersekolah dan duduk di bangku SD dan SMP sehingga masih memerlukan banyak biaya untuk sekolah. Keinginan FG ini didukung oleh tokoh adat setempat. Oleh sebab itu harta warisan tidak dibagikan.
Keinginan FG ini ditentang oleh anak-anaknya yang lain yaitu EA dan EB, mereka mengingingkan agar hak warisan dibagikan. Tetapi karena keinginan FG tetap tidak akan membagi dulu harta warisan dengan alasan yang bermacam-macam dan keinginannya itu tidak dapat dirobah.
Sehingga akibat yang timbul dari kejadian ini hubungan keluarga menjadi tidak harmonis lagi. Anak-anak menjadi sering marah-marah kepada orang tua, dan menimbulkan kesenjangan sosial dalam keluarga.
B. Analisis
Setelah uraian-uraian pada bab terdahulu, dapat penulis analisis bahwa semua keluarga yang melakukan pembagian harta warisan tidak berdasarkan ketentuan hukum Islam (faraidh), pada umumnya pembagian harta warisan dilakukan secara adat (musyawarah) menurut kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat, yaitu dengan cara kesepakatan bagi rata atau kesepakatan lainnya, tanpa mengetahui pembagaian yang didapat oleh masing-masing ahli waris berdasarkan hukum faraidh.
Pada kasus-kasus yang penulis teliti semua keluarga yang melakukan pembagian harta warisan tidak mengenal dengan pembagian menurut hukum islam (faraidh) dan adanya harta gonogini dalam Fikih Indonesia yaitu merupakan hak dari suami atau istri yang ditinggalkan. Seperti menurut dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 96 (1) menyebutkan; “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Harta Gonogini yaitu separoh harta dari harta bersama yang dimiliki antara suami istri yang menjadi hak salah satu pasangan.
1. Kasus Satu
Pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan dengan musyawarah, yang semua anak (ahli waris) mendapatkan bagian masing-masing kecuali istri, hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam yang seharusnya istri al-marhum mendapat bagian warisannya yaitu 1/8 jika ada anak dan ¼ jika tidak ada anak, walau pun anak menjamin kebutuhan ibu(istri),
Surah An-Nisa ayat 11 menyatakan:
... • • ....(الساء: 11)
Artinya:
...Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingmya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibu menapat sepertiga (1/3) ;jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam...(an Nisa: 11).
Kemudian anak laki-laki juga beserta anak perempuan menjadi ashabah binafsih, dan juga bagian anak laki-laki harus mendapatkan dua bagian dari anak perempuan.
2. Kasus Kedua
Pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan, dalam pembagian ini anak perempuan mendapatkan bagian harta terbanyak bahkan lebih banyak dari anak laki-laki, dengan alasan karena telah memelihara orang tua karena sakit selama 6 (enam) bulan, selebihnya harta warisan dibagi rata di antara ahli waris yang lainnya. Cara pembagian seperti ini tentu tidak sesuai dengan hukum faraidh, seharusnya anak perempuan tidak mendapatkan bagian lebih banyak dari anak laki-laki walaupun dengan alasan anak perempuan telah memelihara orang tua karena sakit.
Dalam Surah An-Nisa ayat 11 dinyatakan:
... ...(النساء:11).
Artinya:
...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta...(An-Nisa ayat 11).
3. Kasus Ketiga
Dalam pembagian ini juga menggunakan kebiasaan(adat) dalam masyarakat dalam kasus ini terdapat harta perpantangan yang menurut mereka adalah harta warisan yang diberikan kepada seseorang yang dekat dengan al-marhum semasa hidupnya dan banyak membantu keluarga al-marhum. Dalam kasus ini yang mendapatkan harta parpantangan adalah saudara istri, padahal dalam hukum Islam (faraidh) tidak mengenal namanya harta perpantangan seperti yang dimaksud di sini, seharusnya saudara istri tidak mendaptkan apa-apa (mahjub) oleh anak laki-laki.
4. Kasus keempat.
Pembagian harta warisan dilakukan berdasarkan kesepakatan, yaitu semua anak mendapatkan bagian harta warisan termasuk anak yang tidak beragama Islam (Kristen), padahal dalam ketentuan hukum faraidh, beda agama merupakan halangan mewarisi artinya orang yang agamanya tidak sama tidak saling mewarisi satu sama lain, sebagimana hadis Rasul saw riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
حدثنا ابوعاصم عن بن جريج عن ابن شهاب عن على بن حسين عن عمر بن عثمان عن عسا مة بن زيد رض الله عنهما ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا يرث المسلم الكا فر ولايرث الكا فر المسلم .
Artinya:
Abu Asim telah menceritakan kepada kami, dari ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Umar bin Utsman dari Usman bin Zaid, sesungguhnya Nabi saw bersabda: orang Islam tidak mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi (harta) orang muslim. (HR. Bukhari).
5. Kasus kelima
Harta warisan tidak dibagi selama bapak masih ada dengan alasan bapak bisa memelihara dan mengembangkan harta tersebut, dan dua orang anak masih kecil sehingga masih memerlukan biaya. Dalam hukum Islam tidak ada kewajiban untuk segera membagikan harta warisan, oleh sebab itu sepatutnyalah bagi anak yang berbakti kapada orang tua, untuk menurut dan menghargai keinginan orang tua, selama belum memerlukan dalam keadaan mendesak.
Pada prinsifnya harta warisan wajib dibagikan berdasarkan ketentuan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw yaitu hukum waris (faraidh). Sebagimana hadis Nabi saw yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
عن ا بن عبا س : قا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا قسموا
ا لما ل بين اهل الفرائض على كتا ب الله (رواه مسلم .(
Artinya:
Dari Ibnu Abbas berkata: bersabda Rasulullah saw. Bagilah harta warisan di antara ahli waris sesuai dengan ketentuan kitabullah. (HR. Muslim).
Allah swt, memberikan ancaman kepada orang-orang yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan. Sebagai mana dalam firman-Nya surah An-Nisa ayat 14 yang berbunyi:
• .(النساء:14)
Artinya :
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa:14).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka menurut penulis membagi harta warisan berdasarkan hukum faraidh wajib hukumnya bagi setiap muslim, artinya berdosalah setiap muslim yang mengingkari dan tidak melaksanakan ketentuan hukum faraidh dalam pembagian harta warisan. Apabila umat Islam dalam pembagian harta warisan tidak berpedoman kepada ketentuan-ketentuan Alquran dan Sunnah Rasul, artinya umat islam tidak lagi menggunakan hukum faraidh, maka dikhawatirkan hukum faraidh ini akan hilang dan terlupakan.
Dalam hukum Fikih Islam di Indonesia boleh membagi harta warisan tidak berdasarkan ketentuan hukum waris Islam (faraidh). Yaitu dengan perdamaian artinya pembagian harta warisan dilakukan dengan cara musyawarah (kekeluargaan) antara ahli waris dengan dasar kesepakatan di antara mereka, dengan syarat semua ahli waris mengetahui dengan pembagian secara hukum waris Islam (faraidh).
Setelah ahli waris mengetahui ketentuan bagian-bagian masing-masing menurut hukum faraidh, kemudian dengan kesadaran dan kerelaan barulah mereka dapat melakukan kesepakatan dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris, baik itu dengan cara bagi rata atau pun kasepakatan lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
Walaupun pembagian harta warisan dengan cara demikian dapat dibenarkan oleh hukum, menurut pendapat penulis pembagian harta warisan hendaknya tetap berpegang sebagaimana ketentuan yang ada dalam hukum faraihd agar terhindar dari masalah-masalah yang dapat membawa perselisihan dan persengketaan di antara ahli waris dalam pembagian harta warisan.
KUNTA,
0 Komentar